Senin, 14 Maret 2016

MAKALAH TA'ARUDH AL'ADILLAH WAL MASLAHAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang Masalah
            Islam merupakan agama Rahmatan lil ‘alamin yang dianugrahkan kepada seluruh umat manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, dalam situasi dan kondisi yang berubah-ubah tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Disinilah agama Islam terbukti sebagai agama yang mampu menjawab segala permasalahan dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam hal ini maka para ulama’ mengeluarkan fatwa-fatwa hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tentu dalam hal penetapan hukum pasti ada banyaknya pertentangan antara dalil-dalil. Maka dalam masalah ini para ulama’ menyelesaikannya dalam beberapa metode penyelesaian. Yang dalam hal itu supaya dapat mewujudkan dalam kemaslahatan dan mencegah atau menolak berbagai kerusakan bagi umat manusia. Dalam konteks pertentangan-pertentangan yang terjadi.
            Dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan mengenai Ta’arudh aladillah Wal Maslahah yang akan membuka wawasan kita mengenai kajian ushul fiqih.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Ta’arudh Al-adillah
2.      Apa bentuk-bentuk dalil yang kontradiktif?
3.      Cara menyelesaikan Ta’arudh Al-adillah?
4.      Apa pengertian Maslahah?
5.      Apa pembagian Maslahah?
6.      Apa tingkatan-tingkatan Maslahah?
7.      Apa saja syarat-syarat maslahah mursalah?
8.      Bagaimana kehujanan maslahah mursalah?







BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian  Ta’arudh Al-Adillah

Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara kata Al-Adillah  adalah bentuk Plural dan kata dalil, yang berarti argumen, alasan dan dalil.

Secara istilah Ta’arud la-adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil lain. Sehingga dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu.[1] Perlawanan itu dapat terjadi antara ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang lain, Hadits Mutawatir dengan Hadits Mutawatir yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits Ahad yang lain. Sebaliknya perlawanan tersebut tidak akan terjadi apabila kedua daaul tersebut berbeda kekuatannya, karena pada hakikatnya dalil yang lebih kuatlah yang diamalkan.

Diantara beberapa definisi Taarud al-Adillah menurut beberapa ahli usul fiqh diantaranya yang dikemukakan oleh Amir Syarifudin mena’rifkan ta’arudh dengan berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu Siantar dua dalil itu meniadakanhukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.[2]

Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu kontradiktif antara dua Nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi tik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan.[3]

B.       Bentuk-bentuk Dalil yang Kontradiktif
Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qath’i dan juga zhanni.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain[4]:
  1. Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’i mengharuskan adanya madlul (hukum). Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling meniadakan
2.      Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni sebagaimana tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i, dengan tujuan untuk menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i. sedangkan sebagian ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qath’i, seperti yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
Kedua golongan yang berbeda pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya. Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ
بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 180)
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ ......
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)
Ayat peram mewajibkan kepada yang telah merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pasukannya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua menetapkan asing-masing orangtua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkopromikan keduanya, yaitu jika yang dimaksudkan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh satu penghalang seperti perbedaan agama.[5]


C.      Cara Menyelesaikan Ta’arudh Al-adillah
Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:
Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya
a.      Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq), dapat ditempuh dengan cara:
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:

Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang diunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
Contoh:
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا وَصِيَّةٗ لِّأَزۡوَٰجِهِم مَّتَٰعًا إِلَى ٱلۡحَوۡلِ غَيۡرَ إِخۡرَاجٖۚ فَإِنۡ خَرَجۡنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِي مَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعۡرُوفٖۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٢٤٠
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:
“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.”
Kedua ayat diatas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat kedua menetapkan idah selam empat bulan sebuluh hari:
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada ayat perama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika menikah lagi). Sedangkan masa batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu.
Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS. Al-Baqarah:22)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.

b.        Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan Ida dapat dikompromikan atau di takhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
1.      Nasakh[6], Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Contoh:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.”
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.”
2.      Tarjih, Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh , namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka damaikanlah dalil yang disertai petunjuk yang mengeluarkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
3.      Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.


c.    Meninggalkan dua dalil yang berbenturan

Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berebnturan itu tidak dapat diselesaikan dengan dua cara diatas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
1.      Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
2.      Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.


D.  Pengertian Maslahah

Menurut istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Manfaat adalah ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala sesuatu yang ada kaitan denganya.
Pandangan terhadap Maslahah tebagi menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis serta pandanganya menurut syara’(hakikat syara’), dalam pembahasan pertama al Syatiby mengatakan: “ maslahah ditinjau dari segi artinya adalah segala sesuatu yang menguatkan keberlangsungan dan Menyerpurnakan kehidupan manusia, serta memenuhi segala keinginan rasio dan syahwatnya secara mutlak [7]. Sedangkan menurut arti secara Syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu yang menguatkan kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby mengatakan, “ menarik kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhirat”[8] sedangkan menurut al Ghozali maslahah adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”. sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu: 1.melindungi agama (hifdu al diin), 2.melindungi jiwa (hifdu al nafs), 3.melindungi akal (hifdu al aql), 4.melindungi kelestarian manusia (hifdu al nasl), 5.melindungi harta benda (hifdu al mal).[9]
E. Pembagian Maslahah
Ditinjau dari materinya, para ulama ushul fikh membagi maslahah menjadi dua :
1. Maslahah ammah ;
Maslahah al ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya ulama memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Maslahah khassah .
Maslahah khashsah adalah kemaslahatan pribadi. Maslahah khashsah ini sering terjadi dalam kehidupan kita seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Dan dilihat dari segi keberadaan Maslahat itu sendiri, syariat membaginya atas tiga bentuk yaitu:
1.      Maslahah Mu’tabarah
Maslahah muktabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syariat. Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Dalam kasus peminum khamer misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW. maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maruah), akal dan nyawa. Syarak telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sebatan kepada peminum arak untuk menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.
2.      Maslahah Mulghah
Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak karena bertentangan dengan hukum syara’. ini bukanlah maslahah yang benar, bahkan hanya disangka sebagai maslahah atau ia adalah maslahah yang kecil yang menghalang maslahah yang lebih besar daripadanya. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya.
3.      Maslahah Mursalah
Maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syariat atau nash secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nash yang ada.
Jadi, maslahah ini adalah satu keadaan di mana tiada dalil khas daripada Syara’ yang mengi’tibarkannya dan tidak ada hukum yang telah dinashkan oleh Syara’ yang menyerupainya, yang mana boleh dihubungkan hukumnya melalui dalil Qiyas. Tetapi pada perkara tersebut terdapat satu sifat yang munasabah untuk diletakkan hukum tertentu kepadanya kerana ia mendatangkan maslahah atau menolak mafsadah.
Contoh bagi maslahah ini adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an, hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku agama.
F.     Tingkatan-tingkatan Dalam Maslahah
Dalam pengunaan maslahah ada tiga tingkatan yang harus kita ketahui, yaitu: [10]
1)      Maslahah Dhoruriyah, yaitu segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia, diniyah maupun dunyawiyah, dengan artian bahwa apabila maslahah ini ini tidak terwujud maka rusaklah kehidupan manusia di dunia.
Maslahah dhoruriyah ini meliputi:
1) Memlihara agama, untuk memelihara agama maka disyariatkan manusia untuk beribadah kepada Allah, menjalani semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya.
2) Memelihara jiwa, untuk memlihara agama maka agama mengharamkan pembunuhan tanpa alasan yang benar, dan bagi yang melakukannya dijatuhi hukuman qishas.
3) Memelihara keturunan, untuk memelihara keturunan maka agama mengharamkan zina, dan bagi yang melakukannya didera.
4) Memelihara harta benda, untuk memelihara harta benda maka agama mengharamkan pencurian, bagi yang melakukannya diberi siksaan.
5) Memelihara akal, untuk memelihara akal maka agama mengharamkan miu khomr.
2)      Maslahah hajjiyah, yaitu segala bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dhoruriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud ,tetapi dapat menghindarkan kesulitan. Seperti menikahkan anak- anak.
3)      Maslahah tahsiniyah, yaitu mempergunakan segala yang layak dan pantas dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan semuanya dicakup oleh mahasinul akhlaq. Seperti menikahkan seorang perempuan dengan laki- laki yang sederajat.
G.    Syarat- Syarat Maslahah Mursalah
Uama’-ulama’ yang mengambil “maslahah mursalah” sebagai sumber hukum terutamanya ulamak Mazhab Maliki tidaklah sewenang-wenang menganggap setiap sesuatu itu sebagai “maslahah mursalah”. Bahkan mereka telah meletakkan beberapa syarat dalam mengambil “maslahah mursalah” sebagai sumber hukum agar tidak terjadi penetapan hukum yang berdasarkan nafsu. Syarat- syarat tersebut adalah:
1. Bentuk mashlahah tersebut harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’at, yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya, dan juga tidak menabrak garis ketentuan nash atau dalil-dalil yang qath’i. dengan kata lain bahwa kemashlahatan tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, merupakan bagian keumumannya, bukan termasuk kemashlahatan yang gharib, kendati tidak terdapat dalil yang secara spesifik mengukuhkannya.
2. Kemashlahatan tersebut adalah kemashlatan yang rasional, maksudnya secara rasional terdapat peruntutan wujud kemashlahatan terhadap penerapan hukum. Misalnya pencatatan administrasi dalam berbagai transaksi akan menetralisir persengketaan atau persaksiaan palsu. Dalam kaitannya dengan konteks syariat hal semacam ini selayaknya diterima. Beda halnya dengan pencabutan hak talak dari suami dan menyerahkan kewenangan pada qadli (hakim), keputusan kontropersial semacam ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan garis ketentuan syariat.
3. Mashlahah yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersukup universal, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Karena hukum-hukum syariat diberlakukan untuk semua manusia. Karenanya penetapan hukum tidak selayaknya mengacu secara khusus pada kepentingan-kepentingab pejabat, penguasa atau bermotif nepotisme misalnya.


H.    Kehujjahan Maslahah Mursalah
Para ulama’ ushul fiqh bebeda argumen dalam hal kehujjahan maslahah al mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum syara’. Dalam hal ini kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengakui Maslahah mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum islam, sedangkan Imam Syafi’I dan kalangan Hanafiyah menolaknya dengan alasan sebagai berikut:
Ø Syariatlah yang akan mengatur kamaslahatan manusia dengan nash- nash dan petunjuk qiyas. Sebab syar’I tidak akan berlaku semena- mena terhadap manusia dengan tanpa merumuskan ketentuan- ketentuan hukum yang menjamin segala kemaslahatan manusia. Menetapkan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti menganggap syari’at islam belum lengkap dan masih ada masalah yang belum terselesaikan. Hal ini bertentangan dengan fiman Allah yang berbunyi sebagai berikut:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Artinya:”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja?” (QS.al- Qiyamah: 36).
Ø Pembentukan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti membuka pintu nafsu para pemimpin, ulama’, atau para hakim untuk menetapkan hukum islam menurut selaranya atau kemauannya sendiri dengan alasan kemaslahatan.
Setelah kita mengetahui argumentasi dari para Ulama’ yang menolak maslahah mursalah hendaknya kita juga harus tahu alasan-alasan para Ulama’ yang tetap mempertahankan metode ini, sebenarnya perbedaan mereka hanyalah apabila konsep maslahah mursalah dipakai di dalam muamalat (hubungan antar manusia), adapun apabila diterapkan dalam masalah yang bersifat ibadah maka semua ulama’ sepakat tentang tidak berlakunya metode ini, karena ibadah yang kita terima dari Syari’ bersifat doktrin (tauqifi) yang tidak sepenuhnya terjangkau oleh akal[11]. Adapun alasan-alasan yang mendasari beberapa Ulama’ mengunakan maslahah mursalah adalah:
Ø bahwa kehidupan manusia akan selalu berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia juga akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Ø seandainya konsep maslahah mursalah ini tidak diterapkan di masyakat maka mereka akan banyak mendapati kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan Syari’at Islam tidak diturunkan kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi labih mudah dalam mengarungi hidup ini, seperti keterangan dalam firman Allah:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya:“………dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.(QS.al haj:78)












                                                                              


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah kami sampaikan dalam makalah ini. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian terhadap ta`arudh al-adillah atau dalil-dalil yang bertentangan dapat menggunakan metode al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, naskh, dan tasaqut al-dalalain.
Tidak ada perbedaan pendapat dalam metode penyelesain terhadap ta`arudh al-adillah atau dalil-dalil yang bertentangan. Namun terjadi perbedaan pendapat dalam tahapan metode antara ulama Hanafiyyah yang mendahulukan tarjih, lalu naskh,lalu al-jam`u wa al-taufiq, dan terakhir tasaqut al-dalalain. Sedangakan ulama Syafi`iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah mendahuluan al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, naskh, dan tasaqut al-dalalain.
Sedangkan dalam malahan Menurut istilah umum adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak. seandainya konsep maslahah mursalah ini tidak diterapkan di masyakat maka mereka akan banyak mendapati kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan Syari’at Islam tidak diturunkan kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi labih mudah dalam mengarungi hidup ini.












DAFTAR PUSAKA
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2001, Beirut: Dra al-Fikr, Cet.ke-2
Firdaus. Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif. 2004, Jakarta: Zikrul Hakim,
Khalaf, Abdul Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema Risalah Press
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh  Jilid 1,1997,  Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Yahya, Mukhtar.,dan Fatchurrahman, 1993, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami. Bandung :Al-Ma’rif



[1] Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam. (Bandung :Al-Ma’rif,1993), h. 417
[2] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 204
[3] Ibid., hal. 205
[4] Ibid,. hal.205
[5] http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html
[6] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 208
[7] Al ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby, hal.  217
[8] Abd. Wahbah Khalaf. Ilmu ushul fiqh.hlm. 86.
[9] Dr M.ibn ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu al kitab al tsaqofiyah. Hal. 138
[10] Al ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby. 218
[11] Wahbah zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami. Hlm 89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar