BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang Masalah
Islam
merupakan agama Rahmatan lil ‘alamin yang dianugrahkan kepada seluruh
umat manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, dalam situasi dan kondisi yang
berubah-ubah tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai
permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, mulai dari masalah pribadi,
keluarga, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Disinilah agama Islam terbukti sebagai
agama yang mampu menjawab segala permasalahan dan sesuai dengan perkembangan
zaman.
Dalam hal ini maka para ulama’ mengeluarkan
fatwa-fatwa hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tentu dalam hal
penetapan hukum pasti ada banyaknya pertentangan antara dalil-dalil. Maka dalam
masalah ini para ulama’ menyelesaikannya dalam beberapa metode penyelesaian.
Yang dalam hal itu supaya dapat mewujudkan dalam kemaslahatan dan mencegah atau
menolak berbagai kerusakan bagi umat manusia. Dalam konteks
pertentangan-pertentangan yang terjadi.
Dalam
makalah ini pemakalah akan memaparkan mengenai Ta’arudh aladillah Wal Maslahah yang
akan membuka wawasan kita mengenai kajian ushul fiqih.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Ta’arudh Al-adillah
2.
Apa bentuk-bentuk dalil yang kontradiktif?
3.
Cara menyelesaikan Ta’arudh Al-adillah?
4.
Apa pengertian Maslahah?
5.
Apa pembagian Maslahah?
6.
Apa tingkatan-tingkatan Maslahah?
7.
Apa saja syarat-syarat maslahah mursalah?
8.
Bagaimana kehujanan maslahah mursalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ta’arudh Al-Adillah
Ta’arudh
menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara
kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dan
kata dalil, yang berarti argumen, alasan dan dalil.
Secara
istilah Ta’arud la-adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah
satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil lain. Sehingga
dalam implikasinya kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai
pada satu waktu.[1] Perlawanan itu dapat
terjadi antara ayat Al-Qur’an dengan Al-Qur’an yang lain, Hadits Mutawatir
dengan Hadits Mutawatir yang lain, Hadits Ahad dengan Hadits Ahad yang lain.
Sebaliknya perlawanan tersebut tidak akan terjadi apabila kedua daaul tersebut
berbeda kekuatannya, karena pada hakikatnya dalil yang lebih kuatlah yang
diamalkan.
Diantara
beberapa definisi Taarud al-Adillah menurut beberapa ahli usul fiqh diantaranya
yang dikemukakan oleh Amir Syarifudin mena’rifkan ta’arudh dengan berlawanannya
dua dalil hukum yang salah satu Siantar dua dalil itu meniadakanhukum yang
ditunjuk oleh dalil lainnya.[2]
Abdul
Wahab Khalaf mendefinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu kontradiktif antara
dua Nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut
memberi tik penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu
merupakan pembahasan dua dalil yang saling bertentangan.[3]
B.
Bentuk-bentuk Dalil yang Kontradiktif
Pengertian dalil yang kontradiktif
mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah termaktub dalam
Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana
rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang
qath’i dan juga zhanni.
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa
saja yang memungkinkan adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan
itu antara lain[4]:
- Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’i mengharuskan adanya madlul (hukum). Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling meniadakan
2.
Segolongan ulama
menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni sebagaimana tidak
boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i, dengan tujuan untuk
menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i. sedangkan sebagian
ulama yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena
tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang
tidak qath’i, seperti yang terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua
dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang saling bertentangan, maka ini
mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena kadang-kadang dari
salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah satu dari
dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.
Kedua golongan yang berbeda pendapat itu
semuanya sepakat bahwa terjadinya kontradiksi dalil tersebut hanya dalam
pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu sendiri tidak ada
benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara dua
dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya.
Maka jika salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka
yang diikuti adalah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan
demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash yang qath’i dan nash yang
zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180
yang berbunyi sebagai berikut:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ
بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا
عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
“Diwajibkan atas kamu apabila
seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika ia meninggalkan
harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.”
(QS. Al-Baqarah: 180)
Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami
kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:
يُوصِيكُمُ
ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ
نِسَآءٗ ......
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian orang laki-laki sama dengan
dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)
Ayat peram mewajibkan kepada yang telah
merasa mendekati ajalnya agar mewasiatkan harta pasukannya kepada orang tua dan
sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat kedua menetapkan asing-masing orangtua
anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari harta pusaka lantaran wasiat
Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut kontradiksi
secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkopromikan keduanya, yaitu jika yang
dimaksudkan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh satu
penghalang seperti perbedaan agama.[5]
C.
Cara Menyelesaikan Ta’arudh Al-adillah
Apabila ditemukan dua dalil yang
kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan
keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur dalam ushul fiqh. Dan
apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap tidak
menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang
lain. Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian
dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang
dalam kaidah sebagai berikut:
“Mengamalkan
dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“
a.
Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa
al-Taufiq), dapat ditempuh dengan cara:
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan
penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan
dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan
kedudukan hukum yang diunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat
lagi adanya kontradiksi.
Contoh:
وَٱلَّذِينَ
يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا وَصِيَّةٗ لِّأَزۡوَٰجِهِم
مَّتَٰعًا إِلَى ٱلۡحَوۡلِ غَيۡرَ إِخۡرَاجٖۚ فَإِنۡ خَرَجۡنَ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡكُمۡ فِي مَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعۡرُوفٖۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٞ ٢٤٠
“Orang-orang yang meninggal
diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat bagi istri-istri
mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS.
Al-Baqarah: 240)
Dengan ayat yang berbunyi:
“Orang-orang yang meninggal
diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri itu menahan diri
selama empat bulan sepuluh hari.”
Kedua ayat diatas secara lahir memang
berbenturan karena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun,
sedangkan ayat kedua menetapkan idah selam empat bulan sebuluh hari:
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah
dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu tahun pada
ayat perama adalah hak mantan istri untuk tinggal di rumah mantan suaminya
selama satu tahun (jika menikah lagi). Sedangkan masa batas minimal untuk tidak
menikah lagi selama masa itu.
Takhsis, yaitu jika
dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha
kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain
bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur
hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya
sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن
يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ
وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ
أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS.
Al-Baqarah:22)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang
dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zhahir kedua ayat
di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan
istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddahnya adalah sampai
melahirkan anaknya.
Usaha
penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan
batas melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan
hamil. Dengan usaha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil
dikeluarkan dari keumumannya.
b.
Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang
berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan Ida
dapat dikompromikan atau di takhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat
diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan.
Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:
1.
Nasakh[6], Maksudnya
apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil yang
kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan
dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu
dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan
sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Contoh:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu
berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.”
Keterangan waktu yang menjelaskan
berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan dan
tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat diketahui bahwa
yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir ini
menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di
atas, dan juga hadits di bawah ini yang berbunyi:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu
menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah
dan simpanlah.”
2.
Tarjih, Maksudnya
adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana
yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan
nasakh , namun ditemukan banyak
petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu diantaranya lebih kuat dari pada yang
lain, maka damaikanlah dalil yang disertai petunjuk yang mengeluarkan itu, dan
dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra.
tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah
yang mewajibkan mandi hanya apabila keluar mani.
3.
Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang
berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun
kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh
dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan,
sedangkan yang lain tidak diamalkan.
c. Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berebnturan itu tidak dapat
diselesaikan dengan dua cara diatas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu
dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil
yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
1. Tawaquf (menangguhkan),
menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk
lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.
2. Tasaquth (saling
berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain
untuk diamalkan.
D. Pengertian Maslahah
Menurut istilah umum Maslahah adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan
atau menolak segala kemungkinan yang merusak. Lebih jelasnya Manfaat adalah
ungkapan dari sebuah kenikmatan atau segala hal yang masih berhubungan
denganya, sedangkan kerusakan adalah hal-hal yang menyakitkan atau segala
sesuatu yang ada kaitan denganya.
Pandangan terhadap Maslahah tebagi
menjadi dua bagian, yaitu pandangan maslahah menurut kaum sosialis materialis
serta pandanganya menurut syara’(hakikat syara’), dalam pembahasan pertama al
Syatiby mengatakan: “ maslahah ditinjau dari segi artinya adalah segala
sesuatu yang menguatkan keberlangsungan dan Menyerpurnakan kehidupan manusia,
serta memenuhi segala keinginan rasio dan syahwatnya secara mutlak” [7]. Sedangkan
menurut arti secara Syara’ (hakikat) adalah segala sesuatu yang
menguatkan kehidupan di dunia tidak dengan cara merusaknya serta mampu menuai
hasil dan beruntung di akhirat, dalam hal ini al Syatiby mengatakan, “ menarik
kemaslahatan dan membuang hal-hal yang merusak bisa juga disebut dengan
melaksanakan kehidupan di dunia untuk kehidupan di akhirat”[8] sedangkan
menurut al Ghozali maslahah adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”.
sedangkan tujuan syara’ meliputi lima dasar pokok, yaitu: 1.melindungi agama (hifdu
al diin), 2.melindungi jiwa (hifdu al nafs), 3.melindungi akal (hifdu
al aql), 4.melindungi kelestarian manusia (hifdu al nasl),
5.melindungi harta benda (hifdu al mal).[9]
E. Pembagian Maslahah
Ditinjau dari materinya, para ulama ushul fikh membagi maslahah menjadi dua
:
1. Maslahah ammah ;
Maslahah al ammah adalah kemaslahatan
umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak
berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan
mayoritas umat. Misalnya ulama memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang
dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Maslahah khassah .
Maslahah khashsah adalah
kemaslahatan pribadi. Maslahah khashsah ini sering terjadi dalam kehidupan kita
seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang
yang dinyatakan hilang.
Dan dilihat dari segi keberadaan
Maslahat itu sendiri, syariat membaginya atas tiga bentuk yaitu:
1. Maslahah
Mu’tabarah
Maslahah muktabarah, yaitu
kemaslahatan yang didukung oleh syariat. Maksudnya, ada dalil khusus yang
menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Dalam kasus peminum khamer
misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Nabi
dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh, disebabkan perbedaan alat
pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW. maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga
maruah), akal dan nyawa. Syarak telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama,
qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh untuk
menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sebatan kepada peminum arak untuk
menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.
2. Maslahah
Mulghah
Maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan
yang ditolak karena bertentangan dengan hukum syara’.
ini bukanlah maslahah
yang benar, bahkan hanya disangka sebagai maslahah atau ia adalah maslahah yang
kecil yang menghalang maslahah yang lebih besar daripadanya. Misalnya,
kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk
menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad,
dan sebagainya.
3. Maslahah
Mursalah
Maslahah al-mursalah, yaitu
kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syariat atau nash secara rinci,
namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nash yang ada.
Jadi, maslahah ini adalah satu keadaan di mana tiada
dalil khas daripada Syara’ yang mengi’tibarkannya dan tidak ada hukum yang
telah dinashkan oleh Syara’ yang menyerupainya, yang mana boleh dihubungkan
hukumnya melalui dalil Qiyas. Tetapi pada perkara tersebut terdapat satu sifat
yang munasabah untuk diletakkan hukum tertentu kepadanya kerana ia mendatangkan
maslahah atau menolak mafsadah.
Contoh bagi maslahah ini adalah yang telah
dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an, hukum qisas
terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku agama.
F. Tingkatan-tingkatan
Dalam Maslahah
Dalam pengunaan maslahah ada tiga tingkatan yang harus kita ketahui, yaitu: [10]
1)
Maslahah Dhoruriyah, yaitu segala sesuatu yang harus
ada untuk tegaknya kehidupan manusia, diniyah maupun dunyawiyah, dengan artian
bahwa apabila maslahah ini ini tidak terwujud maka rusaklah kehidupan manusia
di dunia.
Maslahah dhoruriyah ini meliputi:
1) Memlihara agama, untuk memelihara agama maka disyariatkan manusia untuk
beribadah kepada Allah, menjalani semua perintahNya dan menjauhi semua
laranganNya.
2) Memelihara jiwa, untuk memlihara agama maka agama mengharamkan
pembunuhan tanpa alasan yang benar, dan bagi yang melakukannya dijatuhi hukuman
qishas.
3) Memelihara keturunan, untuk memelihara keturunan maka agama mengharamkan
zina, dan bagi yang melakukannya didera.
4) Memelihara harta benda, untuk memelihara harta benda maka agama
mengharamkan pencurian, bagi yang melakukannya diberi siksaan.
5) Memelihara akal, untuk memelihara akal maka agama mengharamkan miu
khomr.
2) Maslahah hajjiyah, yaitu segala bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak
terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dhoruriyah) yang
dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud ,tetapi dapat menghindarkan
kesulitan. Seperti menikahkan anak- anak.
3)
Maslahah
tahsiniyah, yaitu mempergunakan segala yang layak dan pantas dibenarkan oleh
adat kebiasaan yang baik dan semuanya dicakup oleh mahasinul akhlaq. Seperti
menikahkan seorang perempuan dengan laki- laki yang sederajat.
G. Syarat-
Syarat Maslahah Mursalah
Uama’-ulama’ yang mengambil “maslahah mursalah”
sebagai sumber hukum terutamanya ulamak Mazhab Maliki tidaklah sewenang-wenang
menganggap setiap sesuatu itu sebagai “maslahah mursalah”. Bahkan mereka telah
meletakkan beberapa syarat dalam mengambil “maslahah mursalah” sebagai sumber
hukum agar tidak terjadi penetapan hukum yang berdasarkan nafsu. Syarat- syarat
tersebut adalah:
1. Bentuk mashlahah
tersebut harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’at, yakni bahwa kemaslahatan
tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya, dan juga tidak
menabrak garis ketentuan nash atau dalil-dalil yang qath’i. dengan kata
lain bahwa kemashlahatan tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at,
merupakan bagian keumumannya, bukan termasuk kemashlahatan yang gharib,
kendati tidak terdapat dalil yang secara spesifik mengukuhkannya.
2.
Kemashlahatan tersebut adalah kemashlatan yang rasional, maksudnya secara
rasional terdapat peruntutan wujud kemashlahatan terhadap penerapan hukum.
Misalnya pencatatan administrasi dalam berbagai transaksi akan menetralisir
persengketaan atau persaksiaan palsu. Dalam kaitannya dengan konteks syariat
hal semacam ini selayaknya diterima. Beda halnya dengan pencabutan hak talak
dari suami dan menyerahkan kewenangan pada qadli (hakim), keputusan
kontropersial semacam ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan garis
ketentuan syariat.
3. Mashlahah
yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersukup universal, bukan
kepentingan individu atau kelompok tertentu. Karena hukum-hukum syariat
diberlakukan untuk semua manusia. Karenanya penetapan hukum tidak selayaknya
mengacu secara khusus pada kepentingan-kepentingab pejabat, penguasa atau
bermotif nepotisme misalnya.
H. Kehujjahan
Maslahah Mursalah
Para ulama’ ushul fiqh bebeda
argumen dalam hal kehujjahan maslahah al mursalah sebagai metode dan hujjah dalam
penetapan hukum syara’. Dalam hal ini kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengakui
Maslahah mursalah sebagai metode dan hujjah dalam penetapan hukum islam,
sedangkan Imam Syafi’I dan kalangan Hanafiyah menolaknya dengan alasan sebagai
berikut:
Ø Syariatlah
yang akan mengatur kamaslahatan manusia dengan nash- nash dan petunjuk qiyas.
Sebab syar’I tidak akan berlaku semena- mena terhadap manusia dengan tanpa
merumuskan ketentuan- ketentuan hukum yang menjamin segala kemaslahatan
manusia. Menetapkan hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti
menganggap syari’at islam belum lengkap dan masih ada masalah yang belum
terselesaikan. Hal ini bertentangan dengan fiman Allah yang berbunyi sebagai
berikut:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Artinya:”Apakah
manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja?” (QS.al-
Qiyamah: 36).
Ø Pembentukan
hukum syara’ berdasarkan maslahah mursalah berarti membuka pintu nafsu para
pemimpin, ulama’, atau para hakim untuk menetapkan hukum islam menurut
selaranya atau kemauannya sendiri dengan alasan kemaslahatan.
Setelah kita mengetahui argumentasi
dari para Ulama’ yang menolak maslahah mursalah hendaknya kita juga harus tahu
alasan-alasan para Ulama’ yang tetap mempertahankan metode ini, sebenarnya
perbedaan mereka hanyalah apabila konsep maslahah mursalah dipakai di dalam
muamalat (hubungan antar manusia), adapun apabila diterapkan dalam masalah yang
bersifat ibadah maka semua ulama’ sepakat tentang tidak berlakunya metode ini,
karena ibadah yang kita terima dari Syari’ bersifat doktrin (tauqifi) yang
tidak sepenuhnya terjangkau oleh akal[11].
Adapun alasan-alasan yang mendasari beberapa Ulama’ mengunakan maslahah
mursalah adalah:
Ø bahwa
kehidupan manusia akan selalu berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan
manusia juga akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang
melingkupinya.
Ø seandainya
konsep maslahah mursalah ini tidak diterapkan di masyakat maka mereka akan
banyak mendapati kesulitan-kesulitan dalam hidup ini, sedangkan Syari’at Islam
tidak diturunkan kecuali untuk membuat pengikutnya menjadi labih mudah dalam
mengarungi hidup ini, seperti keterangan dalam firman Allah:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya:“………dan
dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.(QS.al
haj:78)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah kami
sampaikan dalam makalah ini. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian
terhadap ta`arudh al-adillah atau dalil-dalil yang bertentangan dapat
menggunakan metode al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, naskh, dan tasaqut
al-dalalain.
Tidak ada perbedaan pendapat dalam metode penyelesain terhadap ta`arudh al-adillah atau dalil-dalil yang bertentangan. Namun terjadi perbedaan pendapat dalam tahapan metode antara ulama Hanafiyyah yang mendahulukan tarjih, lalu naskh,lalu al-jam`u wa al-taufiq, dan terakhir tasaqut al-dalalain. Sedangakan ulama Syafi`iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah mendahuluan al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, naskh, dan tasaqut al-dalalain.
Tidak ada perbedaan pendapat dalam metode penyelesain terhadap ta`arudh al-adillah atau dalil-dalil yang bertentangan. Namun terjadi perbedaan pendapat dalam tahapan metode antara ulama Hanafiyyah yang mendahulukan tarjih, lalu naskh,lalu al-jam`u wa al-taufiq, dan terakhir tasaqut al-dalalain. Sedangakan ulama Syafi`iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah mendahuluan al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, naskh, dan tasaqut al-dalalain.
Sedangkan dalam malahan Menurut
istilah umum adalah: mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala
kemungkinan yang merusak. seandainya konsep maslahah mursalah ini tidak
diterapkan di masyakat maka mereka akan banyak mendapati kesulitan-kesulitan
dalam hidup ini, sedangkan Syari’at Islam tidak diturunkan kecuali untuk
membuat pengikutnya menjadi labih mudah dalam mengarungi hidup ini.
DAFTAR PUSAKA
Al-Zuhaili,
Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2001, Beirut: Dra al-Fikr,
Cet.ke-2
Firdaus. Ushul
Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif. 2004,
Jakarta: Zikrul Hakim,
Khalaf,
Abdul Wahab, 1997, Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy,
Bandung: Gema Risalah Press
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh Jilid 1,1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Yahya,
Mukhtar.,dan Fatchurrahman, 1993, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami.
Bandung :Al-Ma’rif
[1] Prof.
Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Islam. (Bandung :Al-Ma’rif,1993), h. 417
[2] Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
204
[3] Ibid.,
hal. 205
[4] Ibid,.
hal.205
[5] http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html
[6] Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.
208
[7] Al
ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby,
hal. 217
[8] Abd.
Wahbah Khalaf. Ilmu ushul fiqh.hlm. 86.
[9] Dr M.ibn
ahmad taqiyah.1999.”masadiru al tasyri’ al islamy”.Lebanon. muasisu al
kitab al tsaqofiyah. Hal. 138
[10] Al
ghozali .1997. “al mustasfa,Juz 1” Bairut.daar al ihya’ al turats al ‘araby.
218
[11] Wahbah
zuhaily.1990.”Ushul Fiqh”.kuliyat da’wah al islami. Hlm 89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar