BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Salah
satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam
adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang
dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah
yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh
akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara
kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi
kebahasaan. Dengan kaidah itu diharapkan dapat memahami hukum dari nash syara’
dengan pemahaman yang benar, dan juga dapat membuka nash yang masih samar,
menghilangkan kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lain, mentakwilkan
nash yang ada bukti takwilnya, juga hal-hal lain yang berhubungan dengan
pengambilan hukum dari nashnya. Salah satu dari kaidah-kaidah ushul fiqh adalah
lafadz ‘amm (lafaz umum) dan lafadz khash (lafaz khusus).
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
pengertian ‘amm ?
2. Apa saja
lafad-lafaz ‘amm dan pembagiannya ?
3. Apa
pengertian khash ?
4. Apa saja
ketentuan dan macam-macam lafaz khash ?
5. Apa
pengertian takhshish?
6. Apa saja
macam-macam takhshish ?
C.
TUJUAN
PEMBAHASAN
1.
Untuk mengetahui pengertian ‘amm.
2.
Untuk mengetahui lafaz-lafaz ‘amm dan pembagiannya.
3.
Untuk mengetahui pengertian khash.
4.
Untuk mengetahui macam-macam lafaz khash
5.
Untuk mengetahui pengertian takhshish.
6.
Untuk mengetahui macam-macam takhhsish.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
LAFAZ AMM (UMUM)
‘Amm
ialah suatu lafaz yang dipergunakan untuk menunjukan suatu makna yang
pantas (boleh) dimasukan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.
Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafaz ini meliputi semua laki-laki.[1]
1. Ruang
lingkup
Setiap lafaz (kata) mengandung
dua lingkup pembahasan, yaitu (1) lafaz itu sendiri, yang tersusun dari
huruf-huruf, dan (2) makna atau arti yang terkandung dalam Lafaz itu. Para
ulama ushul membahas persoalan tentang lafaz ‘am, khushush, mutlaq dan muqayyad
dalam konteks : “apakah berada dalam lingkup lafaz atau lingkup makna”.
a. Jumhur
ulama berpendapat bahwa ‘am itu pada hakikatnya berada dalam lingkup lafaz,
karena ia menunjukkan pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya.
b. Sebagian
kecil ulama berpendapat bahwa ‘am itu juga menyangkut makna.
c. Jumhur
ulama berpendapat bahwa lafaz ‘am dapat juga digunakan untuk makna, namun
penggunaan untuk makna itu hanya secara majazi, bukan dalam penggunaan yang
sebenarnya, sebab kalau ia hakikatnya untuk makna, tentu akan berlaku untuk
setiap makna.
d. Qadhi
Abdul Wahhab berpendapat bahwa tidak ada yang dapat dikaitan kepada ‘am kecuali
lafaz.
e. As-sharkisi
(dalam kalangan ulama hanafi) berpendapat bahwa ‘am tidak dapat digunakan pada
makna kecuali bila penggunaannya hanya secara majazi, karenanya perlu
penjelasan untuk itu.
f. Segolongan
ulama Irak berpendapat bahwa ‘am itu dapat digunakan untuk perbuatan dan hukum,
dalam arti menanggungkan ucapan pada umumnya khitab meskipun tidak ada sasaran
akhirnya.
2.
Lafaz-lafaz ‘amm (umum)
a. Kullun,
jami’un,
dan ma’syara.
Contoh kullun:
“tiap-tiap umatku akan masuk ke
dalam syurga kecuali orang yang enggan, siapa yang menta’atiku masuk dia
kedalam syurga dan siapa yang enggan membangkang kepadaku itulah orang yang
enggaa”(HR.
Bukhary ).
“Tiap-tiap
diri merasakan mati” (QS. Ali imran ayat 185)
Contoh jami’un:
“Dialah (allah) yang menjadikan
kamu dipermukaan bumi ini seluruhnya” (QS. Al baqarah ayat 29).
Contoh kaffah:
“Tidak kami utus engkau (hai
muhammad), melainkan untuk memberi kabar gembira dan peringatan bagi manusia” (QS.
Saba’ ayat 28).
Contoh ma’syara:
”Hai sekalian jin dan manusia!
Tidaklah sampai kepadamu utusa-utusan yang menceritakan ayat-ku kepadamu? Serta
menakuti kamu akan pertemuanhari ini” (QS. An’am ayat 12).
b. Man, Maa,
dan Aina pada Majas
Contoh Man:
Barangsiapa yang mengerjakan
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu (QS.
An-Nisa’; ayat 123)
Contoh Maa:
Apa-apa yang kamu berikan
(belanjakan)berupa kebaikan,mak berfaedah kepada dirimu sedang kamu tidak akan
teraniaya (QS.
Al-Baqarah; ayat 272).
Contoh Aina:
di mana juapun tempat
tinggalmu,niscaya mati itu akan menimpa dirimu jua, sekalipun kamu tinggal
dalam benteng yang kuat (QS. An-Nisa; ayat 78)
c. Man, Maa,
Aina dan Mata untuk Istifham (pertanyaan).
Contoh Man:
Siapa yang mau berpiutang kepada
Allah denganpiutang yang baik(QS. Al-Baqarah; ayat 245)
Contoh Maa:
Apa sebabnya kamu masuk
neraka? (QS. Al-Mudatsir; ayat 42)
Contoh Aina:
Di mana kamu tinggal?
Contoh Mata:
Kapan akan datang pertolongan
Allah?
d. Ayyu
Contoh:
“Siapa saja di antara perempuan
yang kawin tanpa seizin walinya, maka perkawinannya batal (tidak sah)” (HR.
Arba’ah)
e. Nakirah
sesudah nafi
Contoh:
Takutlah kamu akan hari kiamat,
hari yang tidak dapat menggantikan suatu diri terhadap lainnya sedikit juapun,
dan tidak diterima daripadanya tebusan dan tidak berguna pertolongan, sedang
merekatidak pula mendapat pertolongan” (QS. Al-Baqarah: ayat 123)
f. Isim
Maushul
Contoh:
Orang-orang yang menuduh
perempuan baik berbuat zina, kemudian mereka tidak mendatangkan empatorang
saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan jangan kamu ambil kesaksian
mereka selama-lamanya (QS. An-Nur; ayat 4)
g. Idhafah
Contoh:
Jika kamu menhitung-hitung nikmat
Allah tidak akan terhitung (QS. Ibrahim; ayat 34)
h. Alif lam
harfiah
Contoh:
Bahwa sesungguhnya Allah suka
kepada orang yang adil (Al-Maidah; ayat 42)
Allah kasih kepada orang yang
berbuat kebajikan (QS. Al-Baqarah; ayat 195).[2]
3. Pembagian
‘Amm
Lafaz umum, seperti dijelaskan
Mustafa Sa’id al-Khin, dibagi kepada tiga macam:
a. Lafaz
umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang
menunjukan tertutupnya kemungkinan ada takhsis(pengkhususan).
Misalnya, ayat 6 Surat Hud:
Dan tidak
ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan temapat
penyimpanannya. Semua tertulis dalamkitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (QS.
Hud/11: 6)
Yang
dimaksud binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh
jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di
permukaan bumi adalah Allah yang memberi rezekinya.
b.
Lafaz umum pada hal yang dimaksud adalah makna
khusus karena ada indikasi yang menunjukan makna seperti itu.
Contoh:
Tidaklah
sepatutnyabagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Baduwi yang berdiam
disekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak
patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka dari pada mencintai diri
Rasul. (At-Taubah/9: 120)
Ayat
tersebut menunjukan makna umum, yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang
Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut
menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun yang dimaksud oleh ayat
tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
c.
Lafaz umum yang terbebas dari indikasi baik
menunjukkan bahwa yang di maksud bahwa makna umumnya atau adalah sebagian
cakupannya.
Contoh :
Dan
wanita – wanita yang di talak hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali
quru. ( QS.al-baqarah/2:228)
Lafal
umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthallaqat (wanita – wanita yang di talak),
terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna
umumnya itu atau sebagian cakupannya.
Takhsis
adalah penjelasan bahwa yang di maksud dengan suatu lafal umum adalah sebagian
dari cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian
dari satuan – satuan yang di cakup oleh lafal umum dengan dalil.
Di antara
dalil – dalil pen takhsis, adalah takhsis dengan ayat Al-quran, takhsis dengan
sunnah, dan takhsis dengan Qiyas. Lafal umum setelah di takhsis, ke umumannya
menjadi khusus (makna sebagian). Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat
Al-Quran, dan hadist mutawatir (hadist yang di riwayatkan sekelompok orang
banyak yang tidak mungkin berbohong), dapat men takhsis ayat-ayat umum dalam
Al-Quran.[3]
B.
LAFAZ KHAS (KHUSUS)
1. Pengertian
lafaz khash
Lafaz khusus
adalah lafaz yang dibuat untuk menunjukan satu satuan tertentu;berupa
orang, seperti muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki atau beberapa satuan
yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tiga belas,seratus, kaum, golongan,
jama’ah, kelompok dan lafal lain yang menunjukan jumlah satuan dan tidak
menunjukan cakupan kepada seluruh satuannya.
Hukum
lafaz umum secara global adalah jika ia terdapat dalamnash syara’ yang
menunjukan secara pasti kepada maknanya yang khusus yang dibuat untuknya secara
hakiki dan hukum itu ditetapkan karena petunjuknya secara pasti buka dugaan.
Lafaz
yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri
Menurut definisi terakhir ini,
lafaz khas itu ditentukan untuk menunjukan satu satuan secara perorangan
seperti si Ali; atau satu satuan secara kelompok seperti laki-laki; atau lafaz
lain dalam bentuk satuannya (yang masuk dalam pengertian ‘am)
Khushush adalah
keadaan lafaz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk
semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khas dan khushush,
meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering disamakan. Pengertian khas adalah
apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafaz.
Sedangkan pengertian khushush adalah apa yang dikhususkan
menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
2. Ketentuan
lafaz khas dalam garis besarnya adalah:
1. Bila
lafaz khas lahir dalam bentuk nash syara’ (teks hukum), ia
menunjukan artinya yang khas secara qath’i al-dalalah (penunjuk
yang pasti dan meyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu. Hukum yang
berlaku pada apa yang dituju oleh lafaz itu adalah qath’i.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Maidah/5:89
Maka kaffarahnyan adalah memberi makan sepuluh
orang miskin.
Hukum
yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah keharusan memberikan makan
sepuluh orang miskin, tidak lebih dan tidak kurang.
2. Bila ada
dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafaz khas itu kepada arti lain,
maka arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dikehendaki oleh dalil itu.
Umpamanya sabda Nabi:
Untuk
setiap empat puluh ekor kambing, (zakatnya) satu ekor kambing
Oleh
ulama hanafi zakat kambing dalam hadist itu dita’wilkan kepada
yang lebih umum yang mencakup kambing dan nilai harganya. Juga menta’wilkan
lafaz hadist: “segantang kurma” dalam kewajiban zakatfitrah, kepada
“haraga segantang kurma”.
3. Bila
dalam suatu kasus hukumnya bersifat am dan ditemukan pula
hukum yang khushush dalam kasus lain, maka lafaz khas itu
membatasi pemberlakuan hukum ‘amm itu.
4. Bila
ditemukan pembenturan antara dalil khas dan dalil amm,
terdapat perbedaan pendapat.
a.
Menurut ulama Hanafiah, seandainya dalil itu
bersamaan masanya, maka dalil yang khas mentakhsiskan
yang amm, karena tersedianya persyaratan untuk takhsish.
Bila keduanya tidak bersamaan waktunya di sini ada dua kemungkinan: 1) bila
lafaz amm terkemudian datangnya, maka lafaz amm itu
menasakh lafaz khas itu menasakh lafaz‘amm dalam
sebagian afradnya.
b.
Menurut jumhur ulama, tidak tergambar adanya
pembenturan antara dalil ‘amm dengan dalil khushushkarena
keduanya bila datang dalam waktu bersaan maka yang kahas memberi penjelasan terhadap
yang amm, karena yang umum itu adalah dalam bentuk
zhahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima penjelasan di samping untuk
diamalkan menurut keumumannya hingga diketahui adanya dalil khas. Lafaz khas
itulah yang menjelaskan lafazamm.
3. Macam-macam
Lafadz khas
·
Lafadz has berbertuk mutlak tanpa dibatasi qayyid atau
syarat
Contoh:
والذين
يظهرون من نسائهم ثم يعدون لما قا لوافتحريررقبة من قبل ان يتماسا ذالكمتو عظون به
والله بما تعملون خبي
Atinya : orang –orang
yang mendzihar istri mereka. kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur.demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Alloh maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
·
Lafadz khas berbentuk muqqoyyad (dibatasi qayyid)
Contohnya surat Annisa’ 42
ومن قتل
مؤمناخطاء فتحرير رقبة مؤمنة
Artinya: barang siapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan seotang hamba
sahaya yang beriman.
·
Lafadz khas berbentuk amr
Contohnya dalam syurat annisa’ 58
ان الله
ياء مروكم ان تؤدواالامنت الى اهلها
Artinya : sesungguhnya
Alloh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerinanya
·
Lafadz khas yang berbentuk larangan
Contoh surat annahl 90 ;
ان الله
ياء مرون با لعدل والاءحسن وايتائ ذئ القربى وينهى عن الفحشاء والمنكروالبغى يعظكم
لعلكم تذكرون
Artinya: sesungguhnya
Alloh menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan member kepada kaum
kerabat dan Alloh melarang dari perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan dia
member pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran[4]
C. TAKHSHISH
1. Pengertian
Takhshish
Ketika
membicarakan lafadz ‘am dan lafadh khas, tidak bisa terlepas dari takhshish.
Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan
sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan
sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.
2. Macam-macam
takhshish
a.
Mentakhshish ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an. Misalnya:
قُرُوءٍ ثَلَاثَةَ بِأَنْفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ وَالْمُطَلَّقَاتُ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqarah:228).
Ketentuan
dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi
ketentuan itu dapat ditakhshish dengan surat At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:
حَمْلَهُنَّ أَنْ أَجَلُهُنَّ الْأَحْمَالِ وَأُولَاتُ
Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.(At-Thalaq:4)
Dapat
pula ditakhshish dengan surat Al-Ahzab:49:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ عَلَيْهِنَّ مِنْعِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا لَكُمْ فَمَا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya.(Al-Ahzab:49).
Dengan
demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci
tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan
belum pernah digauli.
b.
Mentakhshish Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Misalnya
firman Allah dalam Al-Maidah ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai).(Al-Maidah:38).
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang
yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
لاَ قَطْعَ فِي أَقَلَّ مِنْ رُبْعِ دِيْنَارٍ . (رواه الجماعة)
“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian
yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar”. (H.R.
Al-Jama’ah).
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa
apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri
tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
c.
Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Misalnya
hadits Nabi SAW yang berbunyi:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ خَتىَّ يَتَوَضَّأَ . متفق عليه
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari
kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alayh).
Hadits di atas kemudian ditakhshish oleh firman
Allah dalam Al-Maidah ayat 6:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِأَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)”. (Al-Maidah:6).
Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu
bagi setiap orang yang akan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang
tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.
d.
Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah.
Misalnya hadits Nabi SAW:
فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ . متفق عليه
“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan,
zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq Alayh).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan
jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang
berbunyi:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ . متفق عليه
“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang
banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)’. (Muttafaq Alayh).
Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak
semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.
e.
Mentakhsish Al-Qur’an dengan Ijma’.
Contohnya
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada
hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli.(Al-Jum’ah:9).
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum’at
berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum
wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.
f.
Mentakhshish Al-Qur’an dengan qiyas.
Misalnya:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَة
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.
(An-Nur:2).
Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh An-Nisa’
ayat 25:
فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin,
kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo
hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
(An-Nisa’:25).
Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa
hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku
bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki
di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.
g.
Mentakhshish dengan pendapat sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadits
dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan
Hanbaliyah dapat diterima jika sahabt itu yang meriwayatkan hadits yang ditakhshishnya.
Misalnya:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ . متفق عليه .
“Barangsiapa menggantikan agamanya (dari agama
Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka bunuhlah dia”. (Muttafaq Alayh).
Menurut hadits tersebut, baik laki-laki maupun
perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadits
tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya
dipenjarakan saja. Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan
bahwa perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umu
hadits tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman hadits di atas
tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah
lafadz-lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa
sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.[5]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Salah
satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam
adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang
dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah
yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh
akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara
kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi
kebahasaan. Salah satu dari kaidah-kaidah ushul fiqh adalah lafadz ‘amm
(lafaz umum) dan lafadz khas (lafaz khusus). Amm ialah suatu lafaz yang
dipergunakan untuk menunjukan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukan pada
makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”,
maka lafaz ini meliputi semua laki-laki. Pengertian khash(khushush)
adalah lawan dari pengertian ‘am (umum). dengan demikian bila telah memahami
pengertian lafaz ‘am secara tidak langsung, juga dapat memahami pengertian
lafaz khas. takhshish adalah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya.
Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup
oleh lafadz ‘am dengan dalil.
Daftar Rujukan
Nazar Bakry. Fiqh & Ushul
Fiqh. 2003. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
H. Amir Starifudin. Ushul
Fiqh jilid 2. Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu.
Satria Effendi. Ushul
Fiqh.2008. Jakarta: Penerbit Kencana.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. 2003. Jakarta: Pustaka Amani.
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih
Kaidah Hukum Islam. 2003. Jakarta: Pustaka Amani. Hal: 281
Tidak ada komentar:
Posting Komentar