Senin, 14 Maret 2016

MAKALAH PENGERTIAN, KLASIFIKASI, DAN KEHUJJAHAN QIYAS



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Syari’ah merupakan penjelmaan kongkrit kehendak Allah (al-Syari’) ditengah masyarakat. Meskipun demikian, syari’ah sebagai essensi ajaran Islam tumbuh dalam berbagai situasi, kondisi serta aspek ruang waktu. Realitas ontologis syari’ah ini kemudian melahirkan epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada dasarnya merupakan resultante dan interkasi para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa hukum Islam (fiqh) menjustifikasi pluralitas formulasi epistemologi hukum disebabkan adanya peran “languge games” yang berbeda. Mengingat adanya problematika hukum berkembang terus, sedang ketentuan – ketentuan textual bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya ialah ijtihad tidak dapat dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab permasalahan tersebut.
Formulasi umum yang dipakai oleh jumhur dalam beristinbath (cara – cara mengeluarkan hukum dari dalail) dalam menetapkan hukum biasanya beranjak dari : a) al-Qur’an , b). al-Sunah dan c). al-Ra’yu berdasarkan firman Allah swt.
Berkaitan erat dengan ra’yu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 – 150 H. / 700 – 767 M), Malik Ibn Anas (94 – 179 H. / 714 – 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H) biasanya mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas ( al-qiyas atau lengkapnya, al-qiyas al-tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya kepada kejadian lain yang ada ketentuan teksnya lantaran antara keduanya ada persamaan illlat hukumnya, serta persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan dalam konsep – konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan) dalam hal ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha al-amah, al-maslahah al-mursalah). Dari paparan latar belakang diatas, serta mengingat banyak dikalangan Mahasiswa yang masih belum memahami sumber hukum islam Qiyas. maka penulis tertarik untuk membuat makalah tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Berikut akan Kami sampaikan secara garis besarnya saja.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian qiyas menurut para ulama ?
2.      Apa saja klasifikasi qiyas ?
3.      Bagaimana kehujjahan qiyas sebagai istimbath hukum?
4.      Bagaimana intensitas penggunaan qiyas dalam istinbath hukum?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui pengertian qiyas menurut para ulama
2.      Mengetahui klasifikasi qiyas
3.      Mengetahui kehujjahan qiyas sebagai istimbath hukum
4.      Mengetahui intensitas penggunaan qiyas dalam istinbath hukum


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Qiyas
Secara etimologi qiyas berarti ukuran atau perbandingan atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyammaan sesuatu dengan yang sejenisnya,
تقدير الشئ بآخر ليعلم المساواة بينهما
Mengukur sesuatu  atas yang lain, supaya diketahui persamaan diantara keduanya
Secara terminologi banyak ulama yang mendefinisikannya diantaranya:
1.      Al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani mendifinisikan al-qiyas sebagai berikut
وهو حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة
Qiyas adalah Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan ‘Illat antara keduanya.[1]
Pendapat ini adalah yang di pilih oleh Jumhur Ulama Muhaqqiqin dari kalangan Mazhab Syafi’iyyah.[2]

2.      Tajuddin al-Subkiy mendefinisikan
حمل معلوم على معلوم لمسا واته في علة حكمه عند الحامل
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam ‘‘Illat hukumnya menrut pihak yang menghubungkan (Mujtahid).

3.      Al-Amidi mendefinisikanya
القياس هو عبارة عن الاستواء بين الفرع والاصل فالعلة المستبطة من حكم اصل
Qiyas adalah suatu bentuk kesamaan antara furu’ dan asal dalam illat yang digali dari asal
4.      Ibnu Hummam mendefinisikannya
هو مساواة محل لآخر فى علة حكم له شرعي لا تدرك بمجرد فهم اللغة
Qiyas adalah persamaan suatu kasus dengan kasus lain dalam illat hukum syara’, yang tidak bisa diketahui melalui pendekatan literal semata

5.      Shadr as-Syari’ah ibnu mas’ud
تعدية الحكم من اللصل الى الفرع بعلة متحدة لا تعرف بمجرد فهم اللغة
Qiyas adalah mengenakan hukum pada asal kepada far’ lantaran adanya illat hukum yang mempersatukanya yang tidak dapat diketahui melaluipendekatan literal semata[3]
6.      Wahbah Zuhaili mendefinisikan qiyas sebagai berikut
إلحق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على حكمه لإشتراكهما فى علة الحكم[4]
Menyamakan perkara yang hukum syara’nya dijelaskan dalam nash dengan perkara yang hukum syara’nya dijelaskan dalam nash, karena ada kecocokan dalam hkum illat.
Dari berbagai definisi di atas , dapat diambil pemahaman bahwa Qiyas adalah menghubungkan suatu peristiwa yang status hukumnya tidak disibutkan oleh nas dengan peristiwa yang disebutkan hukumnya lantaran illat hukumnya sama.
Dengan demikian, poin penting yang harus diketahui dalam hubungannya denga aplikasi teori qiyas adalah hal-hal sebagai berikut:
a.       Fungsi qiyas itu sendiri, yaitu untuk menjelaskan status hukum suatu kasus yang belum ada kepastian hukumnya, baik dari nas maupun ijma’.
b.      Fungsi illat, yaitu sebagai pedoman dasar untuk menetapkan status hukum.
c.       Fungsi pekerjaan seorang mujtahid yang berusaha menjelaskn status hukm yang ada didalam far’ dengan berpijak pada adanya kesamaan ‘illat diantara keduanya (asal dan far’)[5]
B.     Klasifikasi Qiyas
Untuk mengetahui pembagian qiyas dalam hubungannya dengan keberadaan ‘illat, dapat dilihat dari dua aspek, pertama aspek kekuatan ‘illat pada ashal dan far’ dan kedua aspek jelas dan tidaknnya ‘illat, yaitu 1). Dari aaspek kekuatan ‘illat pada ashal dan far’ , terbagi menjadi tiga bagian yaitu :
a.       Qiyas Al-Aulawiy yaitu qiyas dimana ‘illat pada far’ lebih kuat dari ‘illat pada hukum ashal.
Contoh :
1.      Surat al-zulzilah 6-7
7ͳtBöqtƒ âßóÁtƒ â¨$¨Y9$# $Y?$tGô©r& (#÷ruŽãÏj9 öNßgn=»yJôãr& ÇÏÈ   `yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ  

Dalam ayat tersebut ditemukan adanya hukum pujaan dan celaan bagi orang yang berbuat baik dan jelek sebesar dzarrah saja, yaitu pada :
-        Asal, pada asal , ditemukan ada ‘illat pada hukum pujaan dan celaan bagi orang yang beramal baik dan buruk sebesar dzzarrah
-        Far’. Pada far’, ditemukan ada ‘illat pada hukum bramal baik yang lebih besar dan beramal jelek yang lebih berat dari sebesar dzzarh yang ada pada asal.
-        ‘illatnya adalah pujaan dan celaan
-        Logisnya adalah amal baik yang lebih dari sebesar dzzarah itu berstatus lebih terpuja dan amla jelek yang lebih dari sebesar dzzarah berstatus lebih celaka.
Dengan demikian pijian dan celaan pada far’ itu lebih kuat (awla) dari pada asal. Melihat keadaan far’ lebih kuat ditinjau dari ‘illat hukum pujian dan celaan itu , maka halini dikenal dengan sebutan qiyas awlawiy
2.      Hadits riwayat Imam Muslim, tentang :
larangan menumpahkan darah mukmin dan mengambil hartanya dan perintah berbaik sangka “.
Jika berperasangka buruk terhadapnya dengan tetap menunjukkan sikap-sikap permusuhan maka. Hukumnya tentu lebih kuat
-        Asal. Pada asal, ditemukan adanya ketentuan hukum haram dalam bentuk larangan berburuk sangka, tetapi tidak ada sikap permusuhan.
-        Far’. Pada far’, ditemukan hukum haram dalam bentuk berburuk sangka, tapi desertai dengan sikap-sikap permusuhan.
-        ‘illat. ‘illatnya adalah keimanan, sedang fungsi keimananya sebagai pelindung dari tindakan berburuk sangka orang lain, sekalipun tidak diseratisikap permusuhan. ‘illat disinikualitasya lebih lemah sebab terbatas hanya pada sikap berburuk sangka saja.
-        Logisnya adalah hukum larangan atau keharaman yang ada pada far’ dalam berburuk sangka yang diikuti sikap permusuhan itu, lebih kuat dan lebih besar dari asal .
Dengan demikianlarangan atau hukum keharaman pada far’ itu lebih kuat dan lebih besar dari larangan atau keharaman pada asal. Lantaran keadaan far’ lebih kuat dari asal dilihat dari ‘illat hukum larangan , maka qiyas ini disebut dengan qiyas aulawiy.
b.      Qiyas Al Musawwiy , yaitu qiyas dimana ‘illat pada hukumfar’ sama dengan ‘illat pada hukum asal.
Contoh :
1.      Pada surat An-Nisa’ 25
`tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Ztƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# `ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷ƒr& `ÏiB ãNä3ÏG»uŠtGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4 ª!$#ur ãNn=ôãr& Nä3ÏZ»yJƒÎ*Î/ 4 Nä3àÒ÷èt/ .`ÏiB <Ù÷èt/ 4 £`èdqßsÅ3R$$sù ÈbøŒÎ*Î/ £`ÎgÎ=÷dr&  Æèdqè?#uäur £`èduqã_é& Å$rá÷èyJø9$$Î/ BM»oY|ÁøtèC uŽöxî ;M»ysÏÿ»|¡ãB Ÿwur ÅVºxÏ­GãB 5b#y÷{r& 4 !#sŒÎ*sù £`ÅÁômé& ÷bÎ*sù šú÷üs?r& 7pt±Ås»xÿÎ/ £`ÍköŽn=yèsù ß#óÁÏR $tB n?tã ÏM»oY|ÁósßJø9$# šÆÏB É>#xyèø9$# 4 y7Ï9ºsŒ ô`yJÏ9 }ϱyz |MuZyèø9$# öNä3ZÏB 4 br&ur (#rçŽÉ9óÁs? ׎öyz öNä3©9 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇËÎÈ  
“dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Disebutkan pezina wanita yang berstatus budak , yang hukumannya setengah dari hukuman pezina wanita yang merdeka. Jika terjadi kasus pezina laki-laki yang berstatus budak, maka kasus ini dapat diqiyaskan pada kasus pezina wanita yang berstatus budak, sebab ber ‘illat sama , yaitu :
-        Asal : ‘illatnya adalah status budak pada pezina wanita
-        Far’ : ‘illatnya adalah status budak pada laki-laki
-        Logisnya adalah lantaran keduanya sama sama menjadi pelaku perzinaan dan berstatus budak, maka hukum keduanya sama, yaitu seperdua dari hukuman pezina yaang berstatus merdeka.
Melihat illat keduanya sama, maka qiyas ini dikenal dengan sebutan qiyas al-musawiy.
c.       Qiyas al-Adna, yaitu qiyas dimana illat pada hukum far’ kurang jelas dari illat pada hukum asal.
Contoh :
Perasan buah-buahan diqiyaskan dengan khamr, illatnya adalah :
-        Asal           : kuatnya illat memabukkan pada khamr
-        Far’            : lemahnya memabukkan pada perasan buah-buahan lainnya .
-        Logisnya   : kuatnya illat memabukkan pada perasan buah-buahan lain itu lebih ringan dari pada illat memabukkan pada khamr, maka pengqiyasan ini dikenal dengan sebutan qiyas al-adna.
2). Dari aspek jelas dan tidaknya illat, terbagi menjadi 2 bagian yaitu :
a.       Qiyas al-ma’na atau qiyas fi ma’nal aslhiy, yaitu qiyas dimana asalnya satu nas, karena far’nya semakna dengan asalnya, sebagaimana penjelasan diatas.
Dengan demikian, jika dilihat dari segi kekuatan (mudah sulitnya diketahui) illatnya, maka qiyas ini menurut presepsi Imam Hanafi disebut dengan qiyas al-jalli, sebagai kebalikan dari qiyas khafiy. Dari presepsi inilah beliau berpandangan bahwa qiyas jalli itu mencakup qiyas awlaly dan qiyas al-musawiy sedangkan qiyas khafy mencakup qiyas adna dan istihsan. Oleh sebab itu, qiyas khafy dalam presepsi Imam Syafi’i mencakup qiyas adna dan Imam Hanafi mencakup istihsan atau sebaliknya qiyas adna merupakan salah satu bagian dari qiyas khafi.
b.      Qias al-Syabah, yaitu qiyas yang hukum far’nya dapat diketahui dengan cara mengqiyaskan pada salah satu dari beberapa asal dalam beberapa nas yang keadaannya lebih mirip dengan far’.
Dalam menanggapi masalah qiyas, Imam Hanafi berpendapat bahwa qiyas Syabah itu pada hakikatnya dalah istihsan, sekalipun bisa dikatakan pula dengan qiyas khafi, pengertiannya tetap saja tidak sama dengan pengertian qiyas khafi dalam pandangan Hanafi.
Contoh :
Kasus jual beli budak muda beliau yang cacat.
Dalam kasus ini, pembeli memiliki hak untuk mengembaikannya kepada penjual, tetapi yang menjadi persoalan adalah :
-        Apakah penghasilan dari pekerjaan budak selama ditangan pembeli menjadi miliknya dan tidak ikut dikembalikan keoada penjual bersamaan dengan kembalikannya Budak, padahal pembeli sudah menanggung semua biaya pemeliharaan dan biaya hidup selama berada ditangannya.... ?
Dalam menanggapi kasus tersebut, para ahli berbeda pandangan sesuai dengan latar belakang pemikiran mereka dalam melihat illat yang ada di dalamnya, yaitu :
a)      –Imam Syafi’i berpendapat bahwa illat dalam kasus tersebut yang paling mirip adalah “keuntungan yang telah dipreroleh karena pembiyakan” yang dalam hadis menjadi milik penanggung biaya, dengan alasan sekiranya hasil produksi dihubungkan dengan yang menghasilkannya, maka konsekuensinya semua barang yang dibutuhkan untuk budak (yang dijual) adalah menjadi pemilik penjual.
b)      –Ulama lain selain Imam Syafi’i berpendapat bahwa illat pada kasus tersebut yang paling mirip adalah “barang yang dijual”, sehingga hasil pembiakan atau produksi barang yang dijual yang menjadi ikut dikembalikan kepada penjual, sebab ia lahir dari barang yang dijual.



C.    Kehujjahan Qiyas
1.      Al-Quran
Surat an-Nisa’ ayat: 59
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩ [سورة النساء,٥٩]

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
2.      Sunnah Nabi

D.    Intensitas penggunaan qiyas sebagai istimbat hukum
Setelah usul fiqih berubah menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman yang mandiri, mayoritas ulama’ dari semua kelompok, termasuk Abu Hanifah bersepakat untuk menjadikan teori qiyas sebagai salah satu dasar beristinbath hukum. Begitu juga kelompok ahli hadis.
Sekalipun demikian, diantara mereka masih terjadi perbedaan dalam masalah prosedur penerapan  teori qiyas dilapangan, misalnya:
-        Kelompok Hanafiah, menempatkan posisi qiyas pada tempat terdepan, artinya dominasi penggunaan teori qiyas sebagai hujjah sangat tinggi dan berlebihan.
-        Kelompok Hanabilah, mereka menempatkan posisi teori qiyas pada tempat terendah , artinya penerapan teori qiyas dalam setiap mereka beristinbath jarang sekali dipakai.
-        Kelompok Malikiah dan Syafi’iyah mereka menempatkan teori qiyas pada posisi tengah antara keduanya dalam beristimbath.
-        Kelompok dzahiriyyah, dalam beristinbath mereka menolak penggunaan teori qiyas sebagai pijakan penetapan hukum. Begitu juga sebagian kelompok syi’ah.
Dari klasifikasi dalil-dalil hukum Al Qur’an, para ahli hukum islam berbeda-beda dalam memberikan rinciannya, sesuai dengan latar belakang disiplin keilmuan masing-masing yaitu :
a.       Imam Abu Hanifah,
1)      Al-Qur’an
2)      Hadist
3)      Aqwal sahabat
4)      Qiyas
5)      Istihsan
6)      Ijma’
7)      ‘urf.
b.      Imam Syafi’i
1)      Al-Qur’an
2)      Hadist shahih
3)      Ijma’
4)      Qiyas
c.       Imam Malik
1)      Al-Qur’an
2)      Hadist shahih
3)      A’ma ahl madinah
4)      Fatwa sahabat
5)      Qiyas
6)      Maslahah mursalah
7)      Istihsan
8)      Dzariah
d.      Imam Ahmad bin Hambal
1)      Al-Qur’an
2)      Hadist marfu’
3)      Fatwa sahabat
4)      Ijma’ sahabat
5)      Hadist mursal
6)      Hadist dla’if
7)      Qiyas pada saat darurat.[6]


      BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Qiyas merupakan sumber hukum islam setelah ijma’, yaitu menyamakan hukum yang belum ada nasnya dengan hukum yang sudah ada nasnya dengan acuan memiliki kesamaan ‘illat, para ulama madzhab berbeda dalam menggunakan qiyas, ulama hanafi menempatkan qiyas pada posisi terdepan, Kelompok Hanabilah, mereka menempatkan posisi teori qiyas pada tempat terendah, Malikiah dan Syafi’iyah mereka menempatkan teori qiyas pada posisi tengah antara keduanya dalam beristimbath, Kelompok dzahiriyyah, dalam beristinbath mereka menolak penggunaan teori qiyas sebagai pijakan penetapan hukum. Begitu juga sebagian kelompok syi’ah.
B.     Saran
Membaca merupakan kunci cakrawala dunia, bacalah sesuatu yang bermanfaat bagimu, dengan membaca kita akan menjadi seorang yang kaya akan pengetahuan dan ilmu.


Daftar Pustaka
Zein, Muhammad Ma’sum,ilmu ushul fiqih,(Jombang: Darul Hikmah, 2008)



[1] Muhammad Ma’sum Zein, ilmu ushul fiqih, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), hlm. 71
[2] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islami, (Damsyiq: Darul Fikr, 1986), hlm. 602
[3] Zein, Ilmu Ushul ..., Op-Cit, hlm. 71
[4] Wahbah, ushul fiqh ..., Op-Cit, hlm. 603
[5] Zein, Ilmu Ushul ..., Op-Cit, hlm. 72
[6] Muhammad Ma’sum Zein,ilmu ushul fiqih,(Jombang:Darul Hikmah,2008). hal 71-100

Tidak ada komentar:

Posting Komentar