Senin, 14 Maret 2016

HUKUM ADAT DALAM HUKUM POSITIF/UNDANG-UNDANG



HUKUM ADAT YANG DIAKUI DALAM HUKUM POSITIF/UU


Undang-Undang
Tentang
Pasal
Isi
UUD 1945

Pasal 18B ayat (2) Amandemen II
 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang


Pasal 28 ayat (3) 
 Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradapan
Hak Asasi Manusia (Lamp. II Piagam Hak Asasi Manusia) 
 Pasal 41
 Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan dengan perkembangan zaman. 




Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam 
 Pasal 5 huruf j
Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam 
 Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera 
Pasal 6 
Hak Penduduk yang dikaitkan dengan matra penduduk meliputi: 
·         Hak penduduk sebagai diri pribadi yang meliputi hak untuk membentuk keluarga, hak mengembangkan kualitas diri dan kualitas hidupnya, serta hak untuk bertempat tinggal dan pindah ke lingkungan yang serasi, selaras, seimbang dengan diri dan kemampuannya;
·         Hak penduduk sebagai anggota masyarakatyang meliputi hak untuk mengembangkan kekayaan budaya, hak untuk mengembangkan kemampuan bersama sebagai kelompok, hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat, seta hak untuk melestarikan atau mengembangkan perilaku kehidupan budayanya;
·         hak penduduk sebagai warga negara yang meliputi pengakuan atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya;
·         hak penduduk sebagai himpunan kuantitas yang meliputi hak untuk diperhitungkan dalam kebijaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera dalam pembangunan sosial. 
 Pemerintah daerah
 Pasal 93 
 (1) Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.
(2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Penjelasan:
Ayat (1)
istilah desa disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat seperti nagari, kampung, huta, bori, dan marga. Yang dimaksud dengan asal-usul adalah sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya.  
 PengesahanInternational Convention on Elimination of All Form of Racial Discrimination 1965  

 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala bentuk Diskrimninasi Rasial 1965
Hak Asasi Manusia 
 Pasal 6
 1) Dalam Rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah. 
2) Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. 
Penjelasan:
ayat (1) 
Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakathukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. 
ayat (2)
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. 
 Pokok-Pokok Kehutanan
 Pasal 67
 (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a.     melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat masyarakat adat yang bersangkutan;
b.     melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;
c.      mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Penjelasan:
Ayat (1)
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: 
a.     masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b.     ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c.      ada wilayah hukum adat yang jelas;
d.     ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adatyang masih ditaati;
e.      masih mengadakan pemungutan hasil hutan diwilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
Ayat (2)
Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tohoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
Ayat (3)
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
a.     tata cara penelitian;
b.     pihak-pihak yang diikut sertakan;
c.      materi penelitian; dan
d.     kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.
 Sistem Pendidikan Nasional
 Pasal 5
 1). Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
2). Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus;
3). Warga negara didaerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus;
4). Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus;
5). Warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
 Hutan Adat
 Amar Putusan
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
 1.1. Kata negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945
1.2. Kata negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”;
1.3. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang
1.4. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
1.5. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;
1.6. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;
1.7. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.8. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.9. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945
1.10. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.11. Frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945
1.12. Frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”
 Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
 Rangkuman Isi
1. Mengembangkan kapasitas serta membuka ruang partisipasi MHA
2. Mendorong percepatan terwujudnya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan yg berkaitan dengan perlindungan dan pengakuan MHA
3. Mendorong terwujudnya peraturan perundang-udangan yang menjadi landasan hukum bagi perlindungan dan pengakuan MHA
4. Mendorong PEMDA untuk melaksanakan pendataan keberadaan MHA
5. Menginventarisir dan mengupayakan penyelesaian berbagai konflik yang terkait dengan keberadaan MHA
6. Melaksanakan pemetaan dan penataan terhadap penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang terintegrasi dan berkeadilan dgn memperhatikan kepemilikan MHA
7. Memperkuat kapasitas kelembagaan dan kewenangan yang bertanggung jawab memberikan pengakuan dan perlindungan MHA
8. Mendukung pelaksanaan program REDD+ sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan partisipasi MHA









PENGAKUAN HUKUM ADAT OLEH HUKUM FORMAL ATAU HUKUM POSITIF
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, di mana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau perangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.
Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam penjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1.   Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
2.   Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3.   Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, di mana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam praktiknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Ditinjau secara preskripsi (di mana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.

RUU KUHP TENTANG HUKUM ADAT
dalam Pasal 1 ayat 4 RUU KUHP dijelaskan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan\/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian penjelasan Pasal tersebut menyebutkan bahwa \\\'ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiel (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional\\\'.<\/i>

Hal ini juga diakui dalam kepustakaan ilmu hukum dan praktik peradilan yang dikenal dengan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif.

\\\"Hal ini diartikan bahwa meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam UU, hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-nora sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat,\\\" tandas hakim yang mengadili Amrozi cs ini.

Menurut Lilik, polarisasi pemikiran pembentuk UU dalam menentukan dapat dipidana harus memperhatikan keselarasan dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konklusinya, perbuatan tersebut nantinya tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan semata, tetapi juga akan selalu bertentangan dengan hukum.

\\\"Perbuatan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan,\\\" pungkas Lilik.



Peraturan UU tahun 1918  hukum delik adat berlaku di wilayah masing-masing :
Tahun 1918 berlaku KUHP, unifikasi hakim pidana berdasar Pasal 1 KUHP (asas legalitas), “Nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali”
Konsekuensinya: Pengadilan Negeri (Landraad) tidak dapat lagi mengadili delik-delik adat.
Tahun 1951 berdasar Pasal 5 ayat (3) UU Darurat No.1 Tahun 1951 terdapat pengakuan kembali bahwa “hukum yang hidup” (hukum adat) dapat menjadi sumber hukum pidana tertulis (KUHP) selama tidak ada padanan/kesamaan pengaturan dalam KUHP.
Dalam pasal 1 ayat (3) RUU KUHP, menyatakan bahwa asas legalitas tidak boleh ditafsirkan sebagaimana “…mengurai berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa adat setempat seseorang patut dipidana bilamana perbuatan itu tdk ada persamaan dalam peraturan perundang-undangan”. Dengan kata lain RUU KUHP, tidak bersifat mutlak atau bersifat terbuka.

Adat atau sebuah kebiasaan yang menjadi kebudayaan yang telah mendarah daging pada sebuah masyarakat, akan sulit untuk merubahnya. Karena dalam kaidah Ushul Fiqih “Kebiasaan itu menjadi Hukum”, dengan kata lain adat yang ada dalam suatu golongan menjadi hukum dalam kehidupannya sehari-hari yang mana akan sangat sulit untuk merubahnya ke arah adat yang lain. Seperti seorang Muslimah yang sudah baligh (dewasa) membuka jilbabnya dengan tanpa alasan yang jelas, dalam islam itu adalah suatu perbuatan delik yang kotor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar