HUKUM ADAT YANG DIAKUI DALAM HUKUM POSITIF/UU
Undang-Undang
|
Tentang
|
Pasal
|
Isi
|
UUD 1945
|
|
Pasal 18B ayat (2) Amandemen II
|
Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang
|
|
|
Pasal 28 ayat (3)
|
Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradapan
|
Hak Asasi Manusia (Lamp. II Piagam Hak Asasi
Manusia)
|
Pasal 41
|
Identitas budaya masyarakat tradisional,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan dengan perkembangan
zaman.
|
|
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam
|
Pasal 5 huruf j
|
Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum
adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya
alam
|
|
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera
|
Pasal 6
|
Hak Penduduk yang dikaitkan dengan matra penduduk
meliputi:
·
Hak penduduk
sebagai diri pribadi yang meliputi hak untuk membentuk keluarga, hak
mengembangkan kualitas diri dan kualitas hidupnya, serta hak untuk bertempat
tinggal dan pindah ke lingkungan yang serasi, selaras, seimbang dengan diri
dan kemampuannya;
·
Hak penduduk
sebagai anggota masyarakatyang meliputi hak untuk mengembangkan kekayaan
budaya, hak untuk mengembangkan kemampuan bersama sebagai kelompok, hak atas
pemanfaatan wilayah warisan adat, seta hak untuk melestarikan atau
mengembangkan perilaku kehidupan budayanya;
·
hak
penduduk sebagai warga negara yang meliputi pengakuan atas harkat dan
martabat yang sama, hak memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya;
·
hak
penduduk sebagai himpunan kuantitas yang meliputi hak untuk diperhitungkan
dalam kebijaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga
sejahtera dalam pembangunan sosial.
|
|
Pemerintah daerah
|
Pasal 93
|
(1) Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau
digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan
persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.
(2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Penjelasan:
Ayat (1)
istilah desa disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat seperti nagari, kampung, huta, bori, dan marga. Yang dimaksud dengan
asal-usul adalah sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
dan penjelasannya.
|
|
PengesahanInternational Convention on
Elimination of All Form of Racial Discrimination 1965
|
|
Konvensi Internasional tentang Penghapusan
Segala bentuk Diskrimninasi Rasial 1965
|
|
Hak Asasi Manusia
|
Pasal 6
|
1) Dalam Rangka penegakan hak asasi
manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
2) Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Penjelasan:
ayat (1)
Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam
lingkungan masyarakathukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang
bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan
perundang-undangan.
ayat (2)
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional
masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh
oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang
tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan
kesejahteraan rakyat.
|
|
Pokok-Pokok Kehutanan
|
Pasal 67
|
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat masyarakat adat yang
bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Penjelasan:
Ayat (1)
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa
adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya
peradilan adatyang masih ditaati;
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan diwilayah
hutan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
Ayat (2)
Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para
pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tohoh masyarakat adat
yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang
terkait.
Ayat (3)
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
a. tata cara penelitian;
b. pihak-pihak yang diikut sertakan;
c. materi penelitian; dan
d. kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum
adat.
|
|
Sistem Pendidikan Nasional
|
Pasal 5
|
1). Setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu;
2). Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus;
3). Warga negara didaerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat
adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus;
4). Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak memperoleh pendidikan khusus;
5). Warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan
sepanjang hayat.
|
|
Hutan Adat
|
Amar Putusan
|
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
1.1. Kata negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945
1.2. Kata negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud
menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat”;
1.3. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “penguasaan
hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang
1.4. Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
1.5. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;
1.6. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk
hutan adat”;
1.7. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
1.8. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.9. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945
1.10. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.11. Frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945
1.12. Frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
sehingga Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”
|
|
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
|
Rangkuman Isi
|
1. Mengembangkan kapasitas serta membuka ruang
partisipasi MHA
2. Mendorong percepatan terwujudnya sinkronisasi dan harmonisasi
peraturan yg berkaitan dengan perlindungan dan pengakuan MHA
3. Mendorong terwujudnya peraturan perundang-udangan yang menjadi
landasan hukum bagi perlindungan dan pengakuan MHA
4. Mendorong PEMDA untuk melaksanakan pendataan keberadaan MHA
5. Menginventarisir dan mengupayakan penyelesaian berbagai konflik
yang terkait dengan keberadaan MHA
6. Melaksanakan pemetaan dan penataan terhadap penguasaan,
kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang terintegrasi dan
berkeadilan dgn memperhatikan kepemilikan MHA
7. Memperkuat kapasitas kelembagaan dan kewenangan yang bertanggung
jawab memberikan pengakuan dan perlindungan MHA
8. Mendukung pelaksanaan program REDD+ sebagai salah satu upaya untuk
mengembangkan partisipasi MHA
|
PENGAKUAN HUKUM ADAT OLEH HUKUM FORMAL ATAU HUKUM POSITIF
Mengenai
persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang
sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi
bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah.
Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di
daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian
adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual
adat suku tersebut, di mana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau
perangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.
Dalam
penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan
hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4
tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari
kebiasaan atau adat setempat dalam penjatuhan putusan pidana terhadap kasus
yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam
kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat
adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan
ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan
kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian
masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan
ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1.
Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat"
(Pasal 1)
2.
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan
hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3.
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah
ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia
merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, di mana diakui
keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam praktiknya (deskritif)
sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di
lingkungannya.
Ditinjau
secara preskripsi (di mana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan
keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun
dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria
No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
RUU KUHP
TENTANG HUKUM ADAT
dalam Pasal
1 ayat 4 RUU KUHP dijelaskan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
tersebut sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan\/atau
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Kemudian
penjelasan Pasal tersebut menyebutkan bahwa \\\'ayat ini mengandung pedoman
atau kretaria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiel (hukum
yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber
legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan
internasional\\\'.<\/i>
Hal ini juga
diakui dalam kepustakaan ilmu hukum dan praktik peradilan yang dikenal dengan
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif.
\\\"Hal
ini diartikan bahwa meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi rumusan delik dalam
UU, hakim dapat menjatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut dianggap tercela,
bertentangan dengan keadilan dan norma-nora sosial lainnya dalam kehidupan
masyarakat,\\\" tandas hakim yang mengadili Amrozi cs ini.
Menurut
Lilik, polarisasi pemikiran pembentuk UU dalam menentukan dapat dipidana harus
memperhatikan keselarasan dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Konklusinya, perbuatan tersebut nantinya tidak hanya bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan semata, tetapi juga akan selalu bertentangan
dengan hukum.
\\\"Perbuatan
yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan,\\\" pungkas Lilik.
Peraturan
UU tahun 1918 hukum delik adat berlaku di wilayah masing-masing :
Tahun
1918 berlaku KUHP, unifikasi hakim pidana berdasar Pasal 1 KUHP (asas
legalitas), “Nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali”
Konsekuensinya:
Pengadilan Negeri (Landraad) tidak dapat lagi mengadili delik-delik adat.
Tahun
1951 berdasar Pasal 5 ayat (3) UU Darurat No.1 Tahun 1951 terdapat pengakuan
kembali bahwa “hukum yang hidup” (hukum adat) dapat menjadi sumber hukum pidana
tertulis (KUHP) selama tidak ada padanan/kesamaan pengaturan dalam KUHP.
Dalam
pasal 1 ayat (3) RUU KUHP, menyatakan bahwa asas legalitas tidak boleh
ditafsirkan sebagaimana “…mengurai berlakunya hukum yang hidup yang menentukan
bahwa adat setempat seseorang patut dipidana bilamana perbuatan itu tdk ada
persamaan dalam peraturan perundang-undangan”. Dengan kata lain RUU KUHP, tidak
bersifat mutlak atau bersifat terbuka.
Adat
atau sebuah kebiasaan yang menjadi kebudayaan yang telah mendarah daging pada
sebuah masyarakat, akan sulit untuk merubahnya. Karena dalam kaidah Ushul Fiqih
“Kebiasaan itu menjadi Hukum”, dengan kata lain adat yang ada dalam
suatu golongan menjadi hukum dalam kehidupannya sehari-hari yang mana akan
sangat sulit untuk merubahnya ke arah adat yang lain. Seperti seorang Muslimah
yang sudah baligh (dewasa) membuka jilbabnya dengan tanpa alasan yang jelas,
dalam islam itu adalah suatu perbuatan delik yang kotor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar