Senin, 14 Maret 2016

MAKALAH MASLAHAH MURSALAH




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang Masalah
            Islam merupakan agama Rahmatan lil ‘alamin yang dianugrahkan kepada seluruh umat manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, dalam situasi dan kondisi yang berubah-ubah tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Disinilah agama Islam terbukti sebagai agama yang mampu menjawab segala permasalahan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Para ulama mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertujuan untuk menjawab permasalahan-permalahan tersebut, mewujudkan kemaslahatan dan mencegah atau menolak berbagai kerusakan bagi umat manusia dengan menyesuaikan pada tujuan syari’at atau disebut dengan maslahah mursalah.
            Dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan mengenai maslahah mursalah yang akan membuka wawasan kita mengenai kajian ushul fiqih.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian maslahah mursalah?
2.      Apa saja macam-macam maslahah mursalah?
3.      Apa saja syarat-syarat maslahah mursalah?
4.      Bagaimana kehujjahan maslahah mursalah?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Maslahah Mursalah
            Maslahah mursalah menurut lughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah.
            Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab يَصْلُحُصَلَحَ menjadi صُلْحاً atau مَصْلَحَةً yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditasrifkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: مُرْسِلٌاِرْساَلاًيُرْسِلُاَرْسَلَ menjadi مُرْسَلٌ yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).[1][1]
            Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ بِدَفْعِ الْمَفَاسِدِ عَنِ الْخَلْقِ.
Artinya:
“Memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.” (lihat: Hasbi As-Siddiqi, Pengantar Hukum Islam, Juz I, halaman 236)
            Menurut Imam Ar-Razi maslahah adalah sebagai berikut:
بِاَنَّهَا عِبَارَةٌ عَنِ الْمَنْفَعَةِ الَّتِيْ قَصَدَهاَ الشَّارِعُ الْحَكِيْمُ لِعِبَادِهِ فِى حِفْظِ دِيْنِهِمْ وَنُفُوْسِهِمْ وَعُقُوْلِهِمْ وَنَسْلِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ.
            Artinya:
Maslahah adalah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah) kepada hambaNya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.”(Lihat: Al Mahsul oleh Ar-Razi, juz II, halaman 434).
                        Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali:
اَمَّا الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِى الْاَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ اَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ.
Artinya:
Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat.” (lihat: Al-Mustafa oleh Imam Al-Ghazali, Juz I, halaman 39).[2][2]
            Adapun definisi lain mengenai maslahah mursalah, yaitu Menurut bahasa, maslahan berarti manfaat dan kebaikan, sedang mursalah berarrti lepas. Menurut istilah, masalahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya.
            Maslahah Mursalah itu yang mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya atau dalil yang membatalkannya. Misalnya kemaslahatan yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian di tangan pemiliknya dan memungut pajak terhadap tanah itu, atau lainnya yang termasuk kemaslahatan yang dituntut oleh berbagai kebutuhan atau berbagai kebaikan namun belum disyariatkan hukumnya dan tidak ada bukti syara’ yang menunjukkan terhadap pengakuan atau pembatalannya.[3][3]
B.     Macam-Macam Maslahah Mursalah
Dari segi pandangan syara’ maslahah di bagi menjadi 3,[4][4] yaitu :
1.      Maslahah Mu’tabarah
            yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syari’ dan dijadikan dasar dalam penetapan hukum.
            Misalnya kewajiban puasa pada bulan ramadhan. Mengandung kemaslahatan bagi manusia, yaitu untuk mendidik manusia agar sehat secara jasmani maupun rohani. Kemaslahatan ini melekat langsung pada kewajiban puasa ramadhan dan tidak dapat dibatalkan oleh siapapun. Demikian juga kemaslahatan yang melekat pada kewajiban zakat, yaitu untuk mendidik jiwa muzakki agar tebebas dari sifat kikir dan kecintaan yang berlebihan pada harta, dan untuk menjamin kehidupan orang miskin. Kemaslahatan ini tidak dapat dibatalkan, sebab jika dibatalkan akan menyebabkan hilangnya urgensi dan relevansi dari pensyariatan zakat.
2.      Maslahah Mulghoh
            yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syari’ dan syari’ menetapkan kemaslahatan lain selain itu.
            Misalnya adalah kemaslahatan perempuan menjadi imam bagi laki-laki yang bertentangan dengan kemaslahatan yang di tetapkan oleh syar’i yaitu pelarangan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Demikian juga kemaslahatan yang diperoleh oleh seorang pencuri, ditolak oleh syar’i dengan mengharamkan pencurian, demi melindungi kemaslahatan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan rasa aman bagi masyarakat.
3.      Maslahah Mursalah
            yaitu kamaslahatan yang belum tertulis dalam nash dan ijma’, serta tidak ditemukan nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemaslahatan ini dilepaskan oleh syari’ dan diserahkan kepada manusia untuk mengambil atau tidak mengambilnya. Jika kemaslahatan itu diambil oleh manusia, maka akan mendatangkan kebaikan bagi mereka, jika tidak diambil juga tidak akan mendatangkan dosa.
            Misalnya, pencatatan perkawinan, penjatuhan talak di pengadilan, kewajiban memiliki SIM bagi pengendara kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Sedangkan ulama’ ushul membagi maslahah kepada tiga bagian[5][5], yaitu:
1.      Maslahah Dharuriyah
            Maslahah Dharuriyah yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka. Bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatannya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
            Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang harus dilindungi, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
a.       Melindungi kemaslahatan agama.
                        Agama islam merupakan agama Allah karena itu perlu dipelihara dari hal-hal yang merusak, baik dari segi ibadahnya atau akidahnya serta lain-lain yang membawa kerusakannya.[6][6]
                        Yang dimaksud melindungi agama di sini adalah Allah memerintahkan kaum muslim agar menegakkan syiar-syiar Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, memerangi (jihad) orang yang menghambat dakwah Islam dan lain sebagainya.
b.      Melindungi jiwa
                        Diantara syari’at yang diwajibkan untuk melindungi jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Dalam melindungi jiwa ini juga diperlukan hukum yang mengikat, misalnya hukum qisash atau mendiyat orang yang berbuat pidana agar manusia tidak sewenang-wenang membunuh manusia.
c.       Melindungi akal
                        Manusia merupakan sebaik-baik bentuk makhluk Allah yang diberikan akal. Oleh karena itu harus dijaga.
                        Diantara syari’at yang diwajibkan untuk melindungi akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamr dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yang meminumnya. Kaum muslimin disyariatkan agar selalu menggunakan akalnya untuk memikirkan diri dan ciptaan Tuhannya, menuntut ilmu yang bermanfaat dan lain sebagainya.
d.      Melindungi keturunan
                        Dalam memelihara keturunan Islam, diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghindarkan diri dari berbuat zina. begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
e.       Melindungi harta
                        Diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara harta adalah kewajiban untuk menjauhi pencurian. Begitu juga pemotongan tangan pencuri laki-laki atau perempuan. Dan juga larangan berbuat riba serta keharusan bagi orang yang mencuri untuk mengganti harta yang telah dilenyapkannya.
2.      Maslahah Hajjiyah
            Maslahah Hajjiyah adalah:
اَمّاَ الْمَصَالِحُ الْحَاجِيَّةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ عَنِ الْاَعْمَالِ وَ التَّصَرُّفَاتِ الَّتِي لَا تَتَوَقَّفُ عَلَيْهَا تِلْكَ الْاُصُوْلِ الْخَمْسَةِ بَلْ تَتَحَقَّقُ بِدُوْنِهَا وَ لٰكِنْ صِيَانَةً مَعَ الضَّيِّقِ وَالْحَرَجِ.
Artinya:
“Semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat terhindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan”[7][7]
            Dalam sumber lain menyebutkan bahwa Maslahah Hajjiyah adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan.[8][8]
            Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam jika tidak dipenuhi tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat dan bidang jinayat.
            Dalam hal ibadah, islam memberikan rukhshah/keringanan bila seorang mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya. Misalnya diperbolehkan seseorang tidak berpuasa  dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang dalam perjalanan jauh. Begitu pula diperbolehkannya seseorang mengqashar shalat bila ia sedang dalam bepergian jauh.
            Dalam hal adat, dibolehkan berburu, memakan dan memakai yang baik-baik dan yang indah-indah.
            Dalam hal muamalat, dibolehkan jual beli pesanan dan jual beli secara salam, dibolehkan seorang suami menalak isterinya apabila rumah tangga mereka benar-benar tidak mendapat ketentraman lagi.
            Dalam hal uqubat/jinayat, Islam menetapkan kewajiban membayar denda (bukan qisash) bagi orang yang membunuh secara tidak sengaja, menawarkan hak pengampunan bagi orang tua korban pembunuhan terhadap orang yang membunuh anaknya, dan lain sebagainya.[9][9]
3.      Maslahah Tahsiniyah
            Maslahah tahsiniyah adalah:
اَمَّا الْمَصَالِحُ التَّحْسِيْنِيَّةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ عَنِ الْاُمُوْرِ الَّتِيْ تَقْتَضِيْهَا الْمُرُوْءَةُ وَمَكَارِمُ الْاَخْلَاقِ وَمَحَاسِنُ الْعَادَاتِ.
Artinya:
“Mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak”[10][10]
            Dalam sumber lain menyebutkan bahwa Maslahah tahsiniyah adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta memelihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat dan muamalah.[11][11]
            Lapangan ibadah misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat, mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunnah seperti shalat sunnah, puasa sunnah, bersedekah, dan lain-lain.
            Dalam lapangan adat, misalnya bersikap sopan santun ketika makan dan minum, dan dalam pergaulan sehari-hari, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tidak baik.
            Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual barang-barang yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi kebutuhannya.
            Imam Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk dalam lapangan tahsiniyah adalah melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai pakaian yang seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga, terutama oleh agama.
            Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa menjadi wanita yang baik dan menjadi kebanggaan keluarga dan agama di masa mendatang.[12][12]
C.    Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
            Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dengan syarat[13][13] :
1.      Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau di asumsikan.
            Yang dimaksudkan dengan persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus mendatangkan kemanfaatan dan menolak bahaya. Adapun sekedar dugaan bahwa pembentukan suatu hukum menarik suatu manfaat tanpa mempertimbangkannya dengan bahaya yang datang, maka ini adalah berdasarkan atas kemaslahatan yang bersifat dugaan. Misalnya larangan bagi suami untuk menalak isterinya dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut kami tidak mengandung terhadap maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan.
2.      Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi atau kemaslahaan khusus.
            Maksudnya ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus adalah mendatangkan manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak bahaya dari mereka., bukan untuk kemaslahatan individu dan sejumlah perorangan yang merupakan minoritas dari mereka.
            Oleh karena itu fatwa Imam Yahya bin Yahya al-Laitsi al-Maliki, seorang fiqh Andalusia dan murid Imam Malik bin Anas adalah salah. Beliau memberikan fatwa kepada raja Andalusia yang berbuka puasa dengan sengaja pada siang hari bulan Ramadhan bahwa tidak ada kafarat baginya kecuali puasa dua bulan berturut-turut. Beliau mendasarkan fatwanya bahwa kafarat adalah mencegah orang yang berbuat dosa dan menahannya sehingga ia tidak kembali kepada perbuatan dosa serupa., dan tidak ada yang dapat menahan sang raja ini dari hal itu kecuali puasa dua bulan. Adapun memerdekakan budak, maka hal ini terlalu mudah baginya. Fatwa ini didasarkan pada kemaslahatan, tetapi hanya khusus kepada raja, bukan bersifat umum. Karena sudah jelas bahwa kafarat bagi orang yang berbuka puasa pada siang hari bulan ramadhan dengan sengaja adalah memerdekakan seorang budak, kemudian barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut, selanjutnya jika tidak sanggup maka ia memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin, tanpa membedakan antara seorang raja atau fakir miskin yang berbuka puasa pada siang hari bulan ramadhan dengan sengaja. Jadi kemaslahatan ini dibatalkan.
3.      Kemaslahatan tersebut sesuai dengan maqashid al syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’.
            Oleh karena itu tidak sah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian warisan, karena hal itu bertentangan dengan nash alqur’an.
D.    Kehujjahan Maslahah Mursalah
            Dalam kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul,[14][14] diantaranya:
1.      Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-ulama syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah, dengan alasan[15][15]:
a.       Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperlihatkan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at melalui petunjuknya.
b.      Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2.      Menurut Al Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuriyah. Sedangkan maslahah hajjiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.
3.      Menurut Imam Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga diikuti oleh Imam haromain. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a.       Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan maslahah mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyariatannya.
b.      Kemaslahatan manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena perbedaan tempat dan keadaan. Jika hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan mengabaikan banyak kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum syariat.
c.       Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.[16][16]
            Ibnu Al Qayyim berkata: “Diantara kaum muslimin ada sekelompok orang yang berlebih-lebihan dalam memelihara maslahah mursalah, sehingga mereka menjadikan syari’at serba terbatas, yang tidak mampu melaksanakan kemaslahatan hamba yang membutuhkan kepada lainnya. Mereka telah menutup dirinya untuk menempuh berbagai jalan yang benar berupa jalan kebenaran dan jalan keadilan. Dan diantara mereka ada pula orang-orang yang melampaui batas, sehingga mereka memperbolehkan sesuatu yang menafi’kan syari’at Allah dan mereka memunculkan kejahatan yang panjang dan kerusakan yang luas”.[17][17]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Masalahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya
2.      Dari segi pandangan syara’ maslahah di bagi menjadi 3, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah mulghoh dan maslahah mursalah.
Ulama’ ushul fiqh membagi maslahah menjadi 3, yaitu maslahah dharuriyah, maslahah hajjiyah dan maslahah tahsiniyah.
3.      Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dengan syarat:
a.       Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau di asumsikan.
b.      Kemaslahatan tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi atau kemaslahaan khusus
c.       Kemaslahatan tersebut sesuai dengan maqashid al syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’
4.      Dalam kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul:
a.       Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-ulama Syafi’iyah, ulama-ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah
b.      Menurut Al Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuriyah.
c.       Maslahah mursalah dapat menjadi dalil atau hujjah menurut Imam Malik.



DAFTAR PUSTAKA

            Umam, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: CV. Pustaka Setia.
            Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
            Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
            Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras.
            Koto, Alaiddin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
            Asmuni, Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah II; Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.







                [1][1]Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 135.
                [2][2] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 177.
                [3][3]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 116.
                [4][4] Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 141-142.
                [5][5]Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 122.
[6][6] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II; Pengantar studi sejarah kebudayaan Islam dan pemikiran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 1996), hlm. 41
                [7][7] Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, hlm. 138 
                [8][8] Suwarjin, Ushul Fiqh, hlm. 143.
                [9][9] Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, hlm. 139
                [10][10] Ibid, hlm. 139.
                [11][11] Suwarjin, Ushul Fiqh, hlm. 143.
                [12][12] Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, hlm. 140.
                [13][13] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 119-121
                [14][14] Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, hlm. 141-142.
                [15][15] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 121.
                [16][16] Suwarjin, Ushul Fiqh, hlm. 139
                [17][17] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar