BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang
Masalah
Islam
merupakan agama Rahmatan lil ‘alamin yang dianugrahkan kepada seluruh
umat manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, dalam situasi dan kondisi yang
berubah-ubah tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai
permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat, mulai dari masalah
pribadi, keluarga, ekonomi, hukum, dan lain-lain. Disinilah agama Islam
terbukti sebagai agama yang mampu menjawab segala permasalahan dan sesuai
dengan perkembangan zaman. Para ulama mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertujuan
untuk menjawab permasalahan-permalahan tersebut, mewujudkan kemaslahatan dan
mencegah atau menolak berbagai kerusakan bagi umat manusia dengan menyesuaikan
pada tujuan syari’at atau disebut dengan maslahah mursalah.
Dalam
makalah ini pemakalah akan memaparkan mengenai maslahah mursalah yang akan
membuka wawasan kita mengenai kajian ushul fiqih.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian maslahah mursalah?
2.
Apa saja
macam-macam maslahah mursalah?
3.
Apa saja
syarat-syarat maslahah mursalah?
4.
Bagaimana
kehujjahan maslahah mursalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Maslahah Mursalah
Maslahah
mursalah menurut lughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah.
Kata
maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab يَصْلُحُ – صَلَحَ menjadi صُلْحاً atau مَصْلَحَةً yang
berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah
berasal dari kata kerja yang ditasrifkan sehingga menjadi isim maf’ul,
yaitu: مُرْسِلٌ – اِرْساَلاً – يُرْسِلُ – اَرْسَلَ menjadi مُرْسَلٌ yang
berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi
maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang
dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan
yang mengandung nilai baik (bermanfaat).[1][1]
Menurut
Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:
اَلْمُحَافَظَةُ
عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ بِدَفْعِ الْمَفَاسِدِ عَنِ الْخَلْقِ.
Artinya:
“Memelihara tujuan syara’ dengan jalan
menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.” (lihat: Hasbi As-Siddiqi, Pengantar
Hukum Islam, Juz I, halaman 236)
Menurut
Imam Ar-Razi maslahah adalah sebagai berikut:
بِاَنَّهَا
عِبَارَةٌ عَنِ الْمَنْفَعَةِ الَّتِيْ قَصَدَهاَ الشَّارِعُ الْحَكِيْمُ
لِعِبَادِهِ فِى حِفْظِ دِيْنِهِمْ وَنُفُوْسِهِمْ وَعُقُوْلِهِمْ وَنَسْلِهِمْ
وَاَمْوَالِهِمْ.
Artinya:
“Maslahah adalah perbuatan yang
bermanfaat yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah) kepada hambaNya
tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta
bendanya.”(Lihat: Al Mahsul oleh Ar-Razi, juz II, halaman 434).
Sedangkan
menurut Imam Al-Ghazali:
اَمَّا
الْمَصْلَحَةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ فِى الْاَصْلِ عَنْ جَلْبِ مَنْفَعَةٍ اَوْ دَفْعِ
مَضَرَّةٍ.
Artinya:
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih
manfaat dan menolak madarat.” (lihat: Al-Mustafa oleh Imam Al-Ghazali, Juz I,
halaman 39).[2][2]
Adapun
definisi lain mengenai maslahah mursalah, yaitu Menurut bahasa, maslahan
berarti manfaat dan kebaikan, sedang mursalah berarrti lepas. Menurut
istilah, masalahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan
oleh syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil
atau menolaknya.
Maslahah
Mursalah itu yang mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang
mengakuinya atau dalil yang membatalkannya. Misalnya kemaslahatan yang
karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang,
penetapan tanah pertanian di tangan pemiliknya dan memungut pajak terhadap
tanah itu, atau lainnya yang termasuk kemaslahatan yang dituntut oleh berbagai
kebutuhan atau berbagai kebaikan namun belum disyariatkan hukumnya dan tidak
ada bukti syara’ yang menunjukkan terhadap pengakuan atau pembatalannya.[3][3]
B.
Macam-Macam
Maslahah Mursalah
1.
Maslahah
Mu’tabarah
yaitu
kemaslahatan yang didukung oleh syari’ dan dijadikan dasar dalam penetapan
hukum.
Misalnya
kewajiban puasa pada bulan ramadhan. Mengandung kemaslahatan bagi manusia,
yaitu untuk mendidik manusia agar sehat secara jasmani maupun rohani.
Kemaslahatan ini melekat langsung pada kewajiban puasa ramadhan dan tidak dapat
dibatalkan oleh siapapun. Demikian juga kemaslahatan yang melekat pada
kewajiban zakat, yaitu untuk mendidik jiwa muzakki agar tebebas dari sifat
kikir dan kecintaan yang berlebihan pada harta, dan untuk menjamin kehidupan
orang miskin. Kemaslahatan ini tidak dapat dibatalkan, sebab jika dibatalkan
akan menyebabkan hilangnya urgensi dan relevansi dari pensyariatan zakat.
2.
Maslahah
Mulghoh
yaitu
kemaslahatan yang ditolak oleh syari’ dan syari’ menetapkan kemaslahatan lain
selain itu.
Misalnya
adalah kemaslahatan perempuan menjadi imam bagi laki-laki yang bertentangan
dengan kemaslahatan yang di tetapkan oleh syar’i yaitu pelarangan perempuan
menjadi imam bagi laki-laki. Demikian juga kemaslahatan yang diperoleh oleh
seorang pencuri, ditolak oleh syar’i dengan mengharamkan pencurian, demi
melindungi kemaslahatan yang lebih besar, yaitu kemaslahatan rasa aman bagi
masyarakat.
3.
Maslahah
Mursalah
yaitu
kamaslahatan yang belum tertulis dalam nash dan ijma’, serta tidak ditemukan
nash atau ijma’ yang melarang atau memerintahkan mengambilnya. Kemaslahatan ini
dilepaskan oleh syari’ dan diserahkan kepada manusia untuk mengambil atau tidak
mengambilnya. Jika kemaslahatan itu diambil oleh manusia, maka akan
mendatangkan kebaikan bagi mereka, jika tidak diambil juga tidak akan
mendatangkan dosa.
Misalnya,
pencatatan perkawinan, penjatuhan talak di pengadilan, kewajiban memiliki SIM
bagi pengendara kendaraan bermotor, dan lain-lain.
1.
Maslahah
Dharuriyah
Maslahah
Dharuriyah yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan
manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka. Bila sendi itu tidak ada atau
tidak terpelihara secara baik kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatannya
tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
Perkara-perkara
ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan perkara pokok yang
harus dilindungi, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
a.
Melindungi
kemaslahatan agama.
Agama
islam merupakan agama Allah karena itu perlu dipelihara dari hal-hal yang
merusak, baik dari segi ibadahnya atau akidahnya serta lain-lain yang membawa
kerusakannya.[6][6]
Yang
dimaksud melindungi agama di sini adalah Allah memerintahkan kaum muslim agar
menegakkan syiar-syiar Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, memerangi
(jihad) orang yang menghambat dakwah Islam dan lain sebagainya.
b.
Melindungi
jiwa
Diantara
syari’at yang diwajibkan untuk melindungi jiwa adalah kewajiban untuk berusaha
memperoleh makanan, minuman dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Dalam
melindungi jiwa ini juga diperlukan hukum yang mengikat, misalnya hukum qisash
atau mendiyat orang yang berbuat pidana agar manusia tidak sewenang-wenang
membunuh manusia.
c.
Melindungi
akal
Manusia
merupakan sebaik-baik bentuk makhluk Allah yang diberikan akal. Oleh karena itu
harus dijaga.
Diantara
syari’at yang diwajibkan untuk melindungi akal adalah kewajiban untuk
meninggalkan minum khamr dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga
menyiksa orang yang meminumnya. Kaum muslimin disyariatkan agar selalu
menggunakan akalnya untuk memikirkan diri dan ciptaan Tuhannya, menuntut ilmu
yang bermanfaat dan lain sebagainya.
d.
Melindungi
keturunan
Dalam
memelihara keturunan Islam, diantara syari’at yang diwajibkan untuk memelihara
keturunan adalah kewajiban untuk menghindarkan diri dari berbuat zina. begitu
juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
e.
Melindungi
harta
Diantara
syari’at yang diwajibkan untuk memelihara harta adalah kewajiban untuk menjauhi
pencurian. Begitu juga pemotongan tangan pencuri laki-laki atau perempuan. Dan
juga larangan berbuat riba serta keharusan bagi orang yang mencuri untuk
mengganti harta yang telah dilenyapkannya.
2.
Maslahah
Hajjiyah
Maslahah Hajjiyah adalah:
اَمّاَ
الْمَصَالِحُ الْحَاجِيَّةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ عَنِ الْاَعْمَالِ وَ
التَّصَرُّفَاتِ الَّتِي لَا تَتَوَقَّفُ عَلَيْهَا تِلْكَ الْاُصُوْلِ
الْخَمْسَةِ بَلْ تَتَحَقَّقُ بِدُوْنِهَا وَ لٰكِنْ صِيَانَةً مَعَ الضَّيِّقِ
وَالْحَرَجِ.
Artinya:
“Semua bentuk perbuatan dan tindakan yang
tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang
dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat terhindarkan
kesulitan dan menghilangkan kesempitan”[7][7]
Dalam
sumber lain menyebutkan bahwa Maslahah Hajjiyah adalah segala sesuatu
yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak
segala halangan.[8][8]
Hajjiyah ini tidak
rusak dan terancam jika tidak dipenuhi tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan
kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat dan
bidang jinayat.
Dalam
hal ibadah, islam memberikan rukhshah/keringanan bila seorang mukallaf
mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya. Misalnya
diperbolehkan seseorang tidak berpuasa
dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang dalam perjalanan
jauh. Begitu pula diperbolehkannya seseorang mengqashar shalat bila ia sedang
dalam bepergian jauh.
Dalam
hal adat, dibolehkan berburu, memakan dan memakai yang baik-baik dan yang
indah-indah.
Dalam
hal muamalat, dibolehkan jual beli pesanan dan jual beli secara salam,
dibolehkan seorang suami menalak isterinya apabila rumah tangga mereka
benar-benar tidak mendapat ketentraman lagi.
Dalam
hal uqubat/jinayat, Islam menetapkan kewajiban membayar denda (bukan
qisash) bagi orang yang membunuh secara tidak sengaja, menawarkan hak
pengampunan bagi orang tua korban pembunuhan terhadap orang yang membunuh
anaknya, dan lain sebagainya.[9][9]
3.
Maslahah
Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah adalah:
اَمَّا
الْمَصَالِحُ التَّحْسِيْنِيَّةُ فَهِيَ عِبَارَةٌ عَنِ الْاُمُوْرِ الَّتِيْ
تَقْتَضِيْهَا الْمُرُوْءَةُ وَمَكَارِمُ الْاَخْلَاقِ وَمَحَاسِنُ الْعَادَاتِ.
Artinya:
“Mempergunakan semua yang layak dan pantas
yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul
akhlak”[10][10]
Dalam
sumber lain menyebutkan bahwa Maslahah tahsiniyah adalah tindakan atau
sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan makarimul akhlak serta
memelihara keutamaan dalam bidang ibadah, adat dan muamalah.[11][11]
Lapangan ibadah misalnya kewajiban
bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan
shalat, mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunnah seperti
shalat sunnah, puasa sunnah, bersedekah, dan lain-lain.
Dalam
lapangan adat, misalnya bersikap sopan santun ketika makan dan minum, dan dalam
pergaulan sehari-hari, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tidak
baik.
Dalam
lapangan muamalah, misalnya larangan menjual barang-barang yang bernajis, tidak
memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi kebutuhannya.
Imam
Abu Zahrah menambahkan bahwa termasuk dalam lapangan tahsiniyah adalah
melarang wanita-wanita muslimat keluar ke jalan-jalan umum memakai pakaian yang
seronok atau perhiasan-perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa
menimbulkan fitnah dikalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga, terutama oleh agama.
Selanjutnya
dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya merupakan
kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa menjadi
wanita yang baik dan menjadi kebanggaan keluarga dan agama di masa mendatang.[12][12]
C.
Syarat-Syarat
Maslahah Mursalah
1.
Maslahah
tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau di
asumsikan.
Yang
dimaksudkan dengan persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan
hukum pada suatu kasus mendatangkan kemanfaatan dan menolak bahaya. Adapun
sekedar dugaan bahwa pembentukan suatu hukum menarik suatu manfaat tanpa
mempertimbangkannya dengan bahaya yang datang, maka ini adalah berdasarkan atas
kemaslahatan yang bersifat dugaan. Misalnya larangan bagi suami untuk menalak
isterinya dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua
keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut kami tidak
mengandung terhadap maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah
tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu
dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan.
2.
Kemaslahatan
tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi atau kemaslahaan
khusus.
Maksudnya
ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus adalah
mendatangkan manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak bahaya dari
mereka., bukan untuk kemaslahatan individu dan sejumlah perorangan yang
merupakan minoritas dari mereka.
Oleh
karena itu fatwa Imam Yahya bin Yahya al-Laitsi al-Maliki, seorang fiqh
Andalusia dan murid Imam Malik bin Anas adalah salah. Beliau memberikan fatwa
kepada raja Andalusia yang berbuka puasa dengan sengaja pada siang hari bulan
Ramadhan bahwa tidak ada kafarat baginya kecuali puasa dua bulan
berturut-turut. Beliau mendasarkan fatwanya bahwa kafarat adalah mencegah orang
yang berbuat dosa dan menahannya sehingga ia tidak kembali kepada perbuatan
dosa serupa., dan tidak ada yang dapat menahan sang raja ini dari hal itu
kecuali puasa dua bulan. Adapun memerdekakan budak, maka hal ini terlalu mudah
baginya. Fatwa ini didasarkan pada kemaslahatan, tetapi hanya khusus kepada
raja, bukan bersifat umum. Karena sudah jelas bahwa kafarat bagi orang yang
berbuka puasa pada siang hari bulan ramadhan dengan sengaja adalah memerdekakan
seorang budak, kemudian barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka ia berpuasa
selama dua bulan berturut-turut, selanjutnya jika tidak sanggup maka ia
memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin, tanpa membedakan antara
seorang raja atau fakir miskin yang berbuka puasa pada siang hari bulan
ramadhan dengan sengaja. Jadi kemaslahatan ini dibatalkan.
3.
Kemaslahatan
tersebut sesuai dengan maqashid al syari’ah dan tidak bertentangan
dengan dalil-dalil syara’.
Oleh
karena itu tidak sah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara
laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian warisan, karena hal itu
bertentangan dengan nash alqur’an.
D.
Kehujjahan Maslahah
Mursalah
Dalam
kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama ushul,[14][14]
diantaranya:
1.
Maslahah
mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-ulama
syafi’iyah, ulama-ulama hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah, dengan alasan[15][15]:
a.
Bahwa dengan
nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperlihatkan
kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak
diperhatikan oleh syari’at melalui petunjuknya.
b.
Pembinaan
hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu
bagi keinginan hawa nafsu.
2.
Menurut Al
Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah
dharuriyah. Sedangkan maslahah hajjiyah dan maslahah tahsiniyah tidak
dapat dijadikan dalil.
3.
Menurut Imam
Malik maslahah mursalah adalah dalil hukum syara’. Pendapat ini juga
diikuti oleh Imam haromain. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a.
Nash-nash
syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia, karenanya berhujjah dengan maslahah mursalah sejalan
dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan
pensyariatannya.
b.
Kemaslahatan
manusia serta sarana mencapai kemaslahatan itu berubah karena perbedaan tempat
dan keadaan. Jika hanya berpegang pada kemaslahatan yang ditetapkan berdasarkan
nash saja, maka berarti mempersempit sesuatu yang Allah telah lapangkan dan
mengabaikan banyak kemaslahatan bagi manusia, dan ini tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip umum syariat.
c.
Para
mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak melakukan ijtihad
berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka.
Karenanya ini merupakan ijma’.[16][16]
Ibnu
Al Qayyim berkata: “Diantara kaum muslimin ada sekelompok orang yang
berlebih-lebihan dalam memelihara maslahah mursalah, sehingga mereka menjadikan
syari’at serba terbatas, yang tidak mampu melaksanakan kemaslahatan hamba yang
membutuhkan kepada lainnya. Mereka telah menutup dirinya untuk menempuh
berbagai jalan yang benar berupa jalan kebenaran dan jalan keadilan. Dan
diantara mereka ada pula orang-orang yang melampaui batas, sehingga mereka
memperbolehkan sesuatu yang menafi’kan syari’at Allah dan mereka memunculkan
kejahatan yang panjang dan kerusakan yang luas”.[17][17]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Masalahah
mursalah ialah kemaslahatan yang tidak di tetapkan oleh syara’ dalam penetapan
hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya
2.
Dari segi
pandangan syara’ maslahah di bagi menjadi 3, yaitu maslahah
mu’tabarah, maslahah mulghoh dan maslahah mursalah.
Ulama’ ushul fiqh membagi maslahah
menjadi 3, yaitu maslahah dharuriyah, maslahah hajjiyah dan maslahah
tahsiniyah.
3.
Maslahah mursalah dapat
dijadikan sebagai dalil dengan syarat:
a.
Maslahah
tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau di
asumsikan.
b.
Kemaslahatan
tersebut harus kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi atau kemaslahaan
khusus
c.
Kemaslahatan
tersebut sesuai dengan maqashid al syari’ah dan tidak bertentangan
dengan dalil-dalil syara’
4.
Dalam
kehujjahan maslahah mursalah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
ushul:
a.
Maslahah
mursalah tidak dapat menjadi hujjah atau dalil menurut ulama-ulama
Syafi’iyah, ulama-ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama Malikiyah
b.
Menurut Al
Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah
dharuriyah.
c.
Maslahah
mursalah dapat menjadi dalil atau hujjah menurut Imam Malik.
DAFTAR
PUSTAKA
Umam,
Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Amiruddin,
Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Khallaf,
Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Suwarjin.
2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras.
Koto,
Alaiddin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada
Asmuni,
Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah II; Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam
dan Pemikiran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[6][6] Yusran
Asmuni, Dirasah Islamiyah II; Pengantar studi sejarah kebudayaan
Islam dan pemikiran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 1996), hlm. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar